UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Pasang surut pelayaran perahu rakyat di pelabuhan Banjarmasin, 1880-1990

Endang Susilowati; Lapian, A.B. (Adrian Bernard), promotor; A.M. Djuliati Suroyo, co-promotor; Abdullah Dahana, examiner; Leirissa, Richard Zakarias, examiner; Ayatrohaedi, 1939-2006, examiner; Masyhuri, examiner; Saleh A. Djamhari, examiner (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004)

 Abstrak

ABSTRAK
Disertasi yang berjudul "Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880 - 1990" ini difokuskan pada aktivitas pelayaran perahu rakyat di pelabuhan Banjarmasin dalam jaringan pelayaran dengan pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya. Disertasi ini mengkaji dua perrnasalahan utama. Pertama, bagaimana respon pelayaran perahu dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan jaman terutama berkaitan dengan perubahan teknologi dalam sarana pengangkutan laut, perubahan ekonomi, dan politik selama kurun waktu 1880 hingga 1990 dengan memfokuskan pada pelabuhan Banjarmasin sebagai daerah kajian utama. Kedua, disertasi ini juga membahas posisi pelabuhan Banjarmasin dalam perkembangan jaringan pelayaran perahu rakyat di kawasan sekitarnya.
Untuk mengungkapkan respon armada pelayaran perahu rakyat terhadap masuknya teknologi baru, yaitu dioperasikannya kapal uap dan peti kemas di pelabuhan Banjarmasin, akan digunakan konsep tentang dampak penyebaran teknologi baru bagi keberadaan teknologi lama dari à Campo. Menurut à Campo penyebaran teknologi baru pada dasarnya akan menimbulkan empat opsi bagi masyarakat pengguna teknologi lama yang sudah lebih dulu mapan. Opsi pertama adalah adopsi, yaitu orang berupaya untuk memperoleh alat dan keahlian untuk mengoperasikan teknologi baru yang tampak menguntungkan. Opsi ke dua adalah adaptasi, yaitu orang tetap mempertahankan teknologi tradisionalnya tetapi berusaha mengambil keuntungan dan meningkatnya produktivitas dan melimpahnya kesempatan yang muncul sebagai efek dari inovasi teknologi. Apabila kesempatan itu tidak muncul, maka orang akan memilih opsi ke tiga, yaitu relokasi. Dalam hal ini orang terpaksa harus merelokasi usahanya ke wilayah periferi. Opsi ke empat adalah menank diri. Hal itu terjadi bila tidak ada kemungkinan sama sekali untuk melanjutkan usahanya sehingga orang memilih mundur dan merintis usaha lainnya.
Berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi ini, ada dua asumsi yang diajukan. Pertama, pelayaran perahu rakyat di Pelabuhan Banjarmasin masih tetap dapat eksis di tengah berbagai tantangan dan laju modernisasi karena didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut: (a) produksi dari wilayah hinterland berupa hasil hutan seperti karat, kayu, rotan, dan lain-lain serta hasil kerajinan penduduk seperti tikar purun dan barang anyaman lainnya yang cukup melimpah; (b) adanya pangsa pasar sendiri bagi armada perahu (para pedagang atau pengusaha kecil); (c) sifat fleksibel dalam pengangkutan maupun bongkar-muat barang (bisa mengangkut berbagai jenis barang, prosesnya mudah, dan ongkosnya murah).
Asumsi yang kedua, dalam menghadapi masuknya teknologi baru (alat transportasi modern) yang mengancam eksistensinya, respon armada pelayaran perahu rakyat adalah sebagai berikut: (a) adaptasi, yaitu berusaha mengambil keuntungan dari kesempatan yang muncul sehubungan dengan masuknya teknologi baru; (b) relokasi, yaitu memperluas aktivitasnya hingga ke wilayah pinggiran agar tetap dapat memperoleh muatan.
Pada tahun 1880-an hingga tahun 1942 eksistensi pelayaran perahu rakyat menghadapi berbagai tantangan dan perubahan, antara lain mulai berhadapan dengan teknologi pengangkutan yang lebih moderen yaitu kapal uap, perubahan ekonomi sebagai akibat dari krisis ekonomi dunia yang telah terasa sejak tahun 1920-an, dan mengalami kebangkitan kembali di bawah organisasi pelayaran yang dibentuk pada tahun 1935. Di akhir periode ini pelayaran perahu kembali mengalami kemunduran sebagai akibat dari invasi Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Dalam menghadapai tantangan perubahan teknologi yang terjadi sejak tahun 1880-an, khususnya berkaitan dengan ekspansi kapal uap KPM, armada perahu mula-mula meresponnya dengan ber"kompetisi" dengan KPM tetapi kemudian berubah dengan beradaptasi, karena kehadiran kapal uap KPM juga telah meningkatkan produksi yang bisa diangkut oleh perahu.
Selanjutnya ketika terjadi krisis ekonomi dunia, armada perahu justru tetap dapat bertahan hidup dan menjadi alternatif bagi sarana pengangkutan laut, sementara itu armada kapal uap justru collapse. Setelah masa krisis ekonomi berlalu, armada perahu mendapat semangat baru dan mulai bangkit kembali berkat berdirinya ROEPELIN (Roekoen Pelajaran Indonesia) pada tahun 1935. Pada akhir periode ini armada perahu kembali mendapat tantangan karena terjadinya perubahan politik di tanah air sehubungan dengan pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Meskipun pada awalnya armada perahu masih dapat bertahan hidup, namun pada akhir pendudukan Jepang tidak sedikit kerugian yang diderita oleh masyarakat pelayaran perahu, karena banyak armada perahu yang hilang dan rusak selama pendudukan Jepang.
Pada periode berikutnya yaitu dari tahun 1942 sampai dengan 1964 pelayaran perahu merespon perkembangan situasi ekonomi yang kurang kondusif sehubungan dengan kemerosotan ekonomi Indonesia yang antara lain disebabkan oleh pendudukan Jepang di Indonesia dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, kemerosotan ekonomi juga disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia selama periode 1950-1957 yang sebenarnya pada saat itu perahu layar memiliki kesempatan emas untuk berkembang, namun kurang mendapatkan dukungan dari pemerintah. Walaupun kondisi ekonomi masih belum kondusif, namun antara tahun 1957 hingga 1964 pelayaran perahu mulai menunjukkan kebangkitan. Sayang pada waktu itu pemerintah belum memberikan perhatian yang serius karena pemerintah lebih mengutamakan pengembangan pelayaran dengan kapal bermesin dalam sistem angkutan laut di Indonesia.
Masa kejayaan armada pelayaran rakyat terjadi pada tahun 1964 hingga 1985. Dalam rentang waktu dua dasawarsa tersebut armada perahu mengejar ketertinggalannya antara lain dengan memodernisasi armada melalui motorisasi yang mulai dilakukankan sejak tahun 1970-an. Proses adaptasi ini terutama dimaksudkan untuk bertahan dari persaingan yang semakin keras. Ketika terjadi booming dalam perdagangan kayu sejak tahun 1970-an, armada perahu memegang peranan penting dalam pengangkutan kayu dari Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan lain. Perkembangan yang luar biasa dalam perdagangan kayu domestik juga direspon secara lihai oleh pelayaran rakyat, sehingga armada pelayaran rakyat mencapai kejayaannya.
Pada periode 1985 sampai 1990 pelayaran rakyat mulai mengalami masa surut. Berbagai hal menjadi penyebabnya, antara lain kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan perkembangan pelayaran rakyat, dan semakin banyaknya pilihan alat transportasi dalam pengangkutan barang antarpulau. Persaingan yang ketat dengan armada pelayaran lokal dan masuknya teknologi peti kemas di pelabuhan Banjarmasin telah membawa dampak negatif bagi aktivitas pelayaran perahu rakyat pada sentra perahu tersebut. Respon armada pelayaran rakyat dalam menghadapi tantangan perubahan teknologi kali ini, meminjam konsep à Campo, adalah relokasi. Namun tidak seperti hasil penelitian a Campo, relokasi yang terjadi dalam pelayaran perahu di pelabuhan Banjarmasin lebih tepat dikategorikan sebagai semi relokasi, karena pelabuhan Banjarmasin tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh armada perahu rakyat. Ketidakrnampuan armada perahu berhadapan dengan kemajuan teknologi menyebabkan pelayaran rakyat semakin mundur.
Disertasi ini menyimpulkan dua hal. Pertama, dalam merespon tantangan inovasi teknologi dan perubahan politik maupun ekonomi, armada pelayaran rakyat di .pelabuhan Banjarmasin mengambil pilihan adaptasi dan semi relokasi. Dengan demikian, konsep yang dikemukakan oleh à Campo mengenai adanya empat opsi berkaitan dengan penyebaran teknologi baru tidak semuanya berlaku di Banjarmasin. Kedua, secara historis pelayaran rakyat di pelabuhan Banjarmasin telah menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan. Pelayaran rakyat tidak akan punah begitu saja, karena pelayaran rakyat merupakan bagian integral dan kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia. Selama pelabuhan Banjarmasin masih menjadi mata rantai penting dalam perdagangan antar pulau, pelayaran rakyat pasti masih akan tetap dibutuhkan, dan selama Indonesia masih merupakan negara kepulauan, selama itu Pula pelayaran rakyat masih akan terus hidup.

ABSTRACT
This study, titled "Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880- 1990" (The Ebb and Flow of Prahu Shipping in Banjarmasin Port, 1880-1990), is focused on the activities of prahu shipping in Banjarmasin port in its shipping network with surrounding ports. The objectives of this study are (1) to describe the responses of prahu fleets to the changes in technology of sea transportation (steam ship, motorization, container ship, and crane) which go along with the changes in economic and politic affairs and also with the government's policy between 1880 up to 1990 in Banjarmasin port, and (2) to describe the position of Banjarmasin port in the growth of prahu shipping network in surrounding area.
To describe the responses of prahu fleets to the technological as well as economical and political changes, I use a Campo's concept about the impacts of a new technology on the old one. According to him, the diffusion of a new technology will bring about four options to the users of the old one. The first, they try to adopt it. The second, they try to adapt to it: while using the old technology, they benefit from the rise in productivity and the spill-over of opportunities which often follow in the wake of technological innovation. The third, if there are no such opportunities, they maybe force to relocate their activities to some peripheral area The fourth, if there seem to be no such opportunities for continuation, they exit and try to do another enterprise.
In this study, I propose two assumptions. The first, prahu shipping in Banjarmasin port still exists in coping with challenges of modernization because of some enabling factors: (a) the productions from hinterland such as rubber, wood, rattan etc. and handicrafts like likar purun are plentiful, (b) prahu fleets have their own customers i.e. the small traders, (c) the flexibility of prahu fleets in loading and unloading cargo (it can load various cargo in a simple way and cheap cost. The second, the responses of prahu fleets to the new technology (steam ship, container, crane) are: (a) adaptation i.e. prahu fleets can benefit the chances the new technology brings, and (b) semi relocation i.e. prahu fleets expand their activity to the peripheral area, without retreat from the core area (Banjarmasin port), in order to get cargo.
In 1880s to 1942 the existence of prahu shipping faced some challenges and changes i.e. new technology (steam ship), crisis of world economy, and war politic of Japan. The responses were at first competition with the steam ships of KPM and then adaptation (1880s to 1920s). When the steam ships of -PM collapsed for a while in the early of 1930s because of Economic Depression, prahu fleets revived, especially when the prahu shipping organization (ROEPELIN) was established 1935. In the early of 1940s, however, it decreased because the invasion of Japan in Indonesia
In the period of 1942 up to 1964, the prahu shipping was not in good condition because of war (up to the end of 1940s) and the political and economical unrest (1950-1957). It had actually chance to revive at the end of this period, but the government gave top priority to the development of modem ships as the means of the sea transport.
The glory of prahu shipping took place in the period of 1964-1985. Motorization, since 1970s, was its adaptive strategy. Prahu fleets had a prominent role in timber trade booming. They transported timber from Banjarmasin to the main ports on the other islands.
In 1985-1990, technology of container and crane in Banjarmasin port, and the absence attention from the government side were the main factors that force prahu fleets to search for cargo to the peripheral area. Prahu shipping had to relocate (semirelocation) its activity.
This study concludes two things. The first, in responding to the challenges of the technological innovation, of the political and economical changes, and of the government policy, prahu fleets take the options of adaptation and semi relocation. Thus, a Campo's concept about the four options relating to the diffusion of a new technology does not fully occur in Banjarmasin port. The second, historically prahu shipping in Banjarmasin port has shown its strength in facing the challenges of change. It cannot just fade away because it is an integral part of the social, economical, and cultural life of the people of Indonesia. It still survives because of the archipelago condition and the maritime spirit of Indonesia.

 File Digital: 1

Shelf
 Pasang sururt-Full text (D 501).pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Disertasi Membership
No. Panggil : D501
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik :
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D501 07-17-186222889 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 82362
Cover