Empat tahun seusai pemberontakan Diponegoro Kolonel Jhr. F.V.A. Ridder de Stuers, anak menantu dan mantan ajudan Letnan Jenderal H.M. de Kock, menerbitkan memoarnya yang berjudul Memoires sur la guerre d'ile de Java de 1825 - 1830, (1834). Memoar ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Letnan Kolonel H.M. Lange dengan judul Gedenkschrif van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830, terbit pada 1847. Khusus pada Bab III, yang berjudul: 1827, amat menarik perhatian peneliti. Pada tahun 1827 tersebut oleh penulisnya, disebut sebagai tahun titik balik strategi militer Belanda, tahun peralihan dari strategi mobilitas ke strategi benteng atau Stelsel Benteng. Strategi benteng adalah strategi militer yang tidak sekedar memiliki ciri yang unik, baik aspek pemikiran maupun pelaksanaannya, namun amat berkaitan dengan aspek politik, sosial, kultural, seni perang kedua belah pihak yang belum pernah diterapkan dalam perang kolonial mana pun. Dengan asumsi demikian, peneliti memilihnya sebagai topik kajian utama.
Berhadapan dengan topik kajian ini, peneliti menyusun kerangka pertanyaan: Seberapa besarkah kekuatan militer Diponegoro sehingga berhasil memaksa tentara Belanda untuk mengubah strategi militernya pada 1827? Sejauh manakah motivasi perang Diponegoro dan pengikutnya sehingga berhasil memperpanjang jangka waktu perang? Mengapa Jenderal de Kock memilih strategi Stelsel Benteng, apakah sekedar kontra strategi dari strategi Diponegoro atau mempunyai pemikiran lain untuk pasta perang?
Berangkat dari pertanyaan tersebut, peneliti berusaha mengenali beberapa masalah topik kajian tersebut dengan mengkaji secara kritis sejumlah sumber arsip dan historiografi militer Belanda pada periode abad 19 dan memoar Diponegoro tentang peperangan yang dilakukannya.
Dari kajian tersebut peneliti berpendapat, masih ada domain yang "luput" dari perhatian penulis terdahulu. Pertama, terutama kekuatan motivasi dan kemampuan para pemimpin perang dalam mengelola aksi-aksi mereka untuk tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuan aksi mereka untuk mempertahankan kedaulatan negara? Atau untuk merebut kedaulatan negara? Karena kedua belah pihak, baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Diponegoro saling mengaku memiliki kedaulatan (berdaulat) di Kesultanan Yogyakarta dan saling mengaku pula kedaulatan dan kehormatannya dilanggar dan direndahkan. Karena masalah kedaulatan sebagai masalah prinsip, tidak ada cara lain untuk saling mempertahankan dan merebut kedaulatan kecuali dengan perang. Kedua, perang yang terjadi dalam satu wilayah negara (infra states warfare) dalam sejarah militer disebut perang kecil (small war). Perang kecil yang terjadi di wilayah Kerajaan Yogyakarta bisa ditinjau dari beberapa aspek: politik, sosial, kultural dan ekonomi?