Perkawinan anak-anak adalah perkawinan yang diselenggarakan pada saat seseorang berusia dibawah ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang berlaku pada jaman Hindia Belanda ( 1900 - 1942 ) usia perkawinan adalah 15 tahun ke atas untuk perempuan dan 18 tahun ke atas untuk laki-laki.
Pada waktu itu penduduk keresidenan Banten, terutama yang tinggal di pedesaan, melaksanakan perkawinan pada saat seseorang berusia kurang dari 12 tahun. Mereka akan sangat malu dan takut apabila anak, terutama anak perenpuan, setelah usia tersebut masih belum menikah. Pandangan bahwa sebutan perawan tua sangat hina dan mempengaruhi kehidupan keluarganya, telah mendorong orang tua untuk mengawinkan anaknya sedini mungkin. Untuk mencapai keinginannya para orang tua, yang mempunyai anak berusaha membuat suatu hubungan untuk mengawinkan anak-anak mereka. Hubungan tersebut kemudian membentuk suatu ikatan yang disebut bebesanan.
Ada beberapa faktor yang mendorong terbentuknya Bebesanan, yaitu karena ekonomi, agama, sosial. Keluarga yang kaya ingin membentuk ikatan bebesanan dengan keluarga yang kaya lagi, atau orang yang kaya bersedia berbesanan dengan keluarga yang miskin karena perlu tenaga kerja atau karena si calon menantu seorang santri. Orung Banten termasuk yang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Orang yang pandai dalam agama Islam menempati tempat yang terhormat, sehingga setiap orang ingin mendapatkan nenantu yang dapat mengajarkan keimanan kepada keluarganya. Adat kebiasaan yang hidup pada masyarakat mengharuskan orang tua nengawinkan anaknya, terutama anak perempuan, sebalum ia menjadi dewasa. Batasan dewasa tidak ditentukan oleh usia, melainkan oleh faktor fisik.
Pmerintah Hindia Belanda, setelah mendapat informasi dan komentar dari berbagai pihak, mengenai adanya kebiasaan perkawinan anak-anak, mengeluarkan peraturan yang melarang kebiasaan tersebut dilakukan. Peraturan tersebut berlaku untuk seluruh penduduk (pribumi) Hindia Belanda.
Sebelum peraturan dari pemerintah itu dikeluarkan pada masyarakat Banten telah berlaku norma yang mengatur perkawinan, yaitu norma adat dan agama. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum perkawinan di Banten adalah pluralistis. Untuk peristiwa perkawinan berlaku lebih dari satu sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum Negara. Berlakunya hukum majemuk, telah memungkinkan seseorang warga masyarakat memilih salah satu norma atau mengkombinasikan norma-norma yang dianggapnya paling tepat. Penduduk Banten mengambil norma agama dan norma adat sebagai dasar dari perilakunya khusuanya dalan bidang perkawinan.
Kenyataan bahwa penduduk, bahkan petugas, orang dari daerah setempat, yang berwenang mengawinkan tidak sepenuhnya mentaati norma hukum negara. Keharmonisan hidup di masyarakat lebih utama dari pada yang lainnya. Mereka berupaya agar kebiasaan bisa dilaksanakan tampa menentang penerintah. Salah satu cara adalah manipulasi. Mengahadapi kondisi demikian penerintah Hindia Belanda tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mencari jalan lain untuk memonitor keadaan masyarakat. Kebiasaan perkawinan anak-anak, sampai sekarang masih masih tetap dipertahankan oleh sebagian penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan.