RS "X" sebagai suatu unit yang memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dituntut untuk senantiasa meningkatkan dan mengembangkan pelayanannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Peningkatan kuantitas pelayanan antara lain dilakukan penambahan jumlah bed, kamar maupun unit-unit pelayanan baru. Sementara peningkatan kualitas dilakukan antara lain melalui program pendidikan dokter dan paramedis, penambahan peralatan kedokteran dan sebagainya.
Konsekuensi dari tuntutan peningkatan pelayanan tersebut adalah bahwa RS "X" memerlukan dana yang besar. Kenyataannya, sebagai rumah sakit yang bernaung dibawah salahsatu BUMN, RS "X" dituntut untuk swadana dalam arti harus mampu membiayai sendiri semua kebutuhannya. Tanpa subsidi pemerintah maupun sumbangan dari para donatur menjadikan tarif yang dibebankan kepada pasien satu-satunya sumber dana penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Mengingat masalah rumah sakit menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka tidaklah mengherankan apabila pemerintah masih memberikan pembatasan-pembatasan dalam hal penentuan tarif, khususnya bagi golongan masyarakat yang kurang mampu. Sebagai akibatnya RS "X" tidak dapat semaunya menentukan tarif yang dibebankan kepada pasien untuk masing-masing klas, khususnya untuk klas I, II, dan III. Untuk klas-klas tersebut oleh Kanwil Departemen Kesehatan telah ditentukan plafon tarif atas dasar masukan dari IRSJAM (Ikatan Rumah Sakit Jakarta Metropolitan). Dari sini nampak adanya tantangan yang dihadapi oleh rumah sakit-rumah sakit swasta, khususnya RS "X", yaitu keterbatasan dana untuk menjalankan usahanya.
Menghadapi tantangan dana tersebut, pihak manajemen rumah sakit harus pandai-pandai mencari dan memperbanyak alternatif sumber pendapatan, mengelola dana yang didapat, dan melakukan perencanaan dan pengendalian secermat mungkin dalam melakukan pengeluaran baik yang sifatnya investasi maupun yang bersifat operasional.
Salah satu upaya yang salama ini dilakukan oleh RS "X" untuk mengatasi keterbatasan sumber pendapatan karena adanya pembatasan tarif dari pemerintah tersebut, pihak manajemen telah membebankan tarif yang relatif tinggi kepada pasien yang mampu, yaitu pasien yang dirawat di klas VIP dan klas Utama. Tujuannya, tentu saja diharapkan agar tarif yang dikenakan kepada pasien yang kurang mampu. Hanya sayang bahwa tarif-tarif selama ini ditentukan tidak berdasarkan besarnya biaya yang seharusnya diperhitungkan, melainkan dengan cara mengikuti tarif rumah sakit lain. Sehingga tidak bisa dihindarkan bahwa besarnya tarif kadang-kadang justru lebih rendah dari biaya yang seharusnya diperhitungkan.
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas tentu saja RS "X" membutuhkan perangkat manajemen yang dapat digunakan sebagai alat perencanaan dan pengendalian. Dan dengan menggunakan analisis CVP maka pihak manajemen akan dapat menentukan tarif minimum yang harus dibebankan kepada pasien, menentukan komposisi klas yang tidak dibatasi tarifnya dan yang dibatasi, atau minimal untuk alat pengendalian biaya. Sehingga diharapkan rumah sakit bisa berkembang atau minimal mempertahankan kelangsungan usahanya.