Secara historis, kenaikan kontribusi industri pengolahan terhadap output dan tenaga kerja yang menyertai peningkatan pendapatan per kapita dan penurunan relatif kontribusi di sektor pertanian adalah merupakan generalisasi yang terbaik mengenal pembangunan (Chenery, 1986, p.l).
Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, pembangunan industri merupakan bagian dari pembangunan ekonomi jangka panjang untuk mencapai struktur ekonomi yang semakin seimbang di mana sektor industri yang maju dan didukung oleh sektor pertanian yang tangguh. Selanjutnya, proses industrialisasi harus mampu mendorong berkembangnya industri sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja baru, sumber peningkatan ekspor dan penghematan devisa, penunjang pembangunan daerah, penunjang pembangunan sektor-sektor lainnya serta sebagai wahana pengembangan dan penguasaan teknologi. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia mempunyai harapan yang besar terhadap sektor industri sebagai motor pembangunannya.
Data dari World Development Report 1990 menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1988 memiliki produk nasional bruto (PNB) per kapita sebesar US $ 440. Dari 121 negara yang dikumpulkan, Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan rendah.
Dilihat dari pendapatan per kapitanya, Indonesia masih di atas rata-rata kelompok negara tersebut. Jika dibandingkan tahun 1965, Indonesia mengalami pertumbuhan PNB per kapita sekitar 4,3 persen pada periode 1965-1998. Laju pertumbuhan tersebut termasuk tinggi. Bila melihat struktur produksinya: (a) kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mengalami penurunan, yakni dari 56 persen (1965) menjadi 24 persen (1988). Dibandingkan kelompok negara berpendapatan rendah lainnya, penurunan kontribusi ini termasuk cepat; (b) kontribusi sektor industri terhadap PDB mengalami peningkatan, yakni dari 13 persen (1965) menjadi 36 persen (1999); (c) Kontribusi sektor Industri pengolahan terhadap PDB mengalami peningkatan, yakni dari 8 persen (1965) menjadi 19 persen (1988). Menurut klasifikasi UNIDO, suatu negara dikatakan dalam proses industrialisasi jika rasio nilai tambah industri pengolahan terhadap PDB nya adalah antara 10 hingga 20 persen (Moh. Arsjad Anwar, 1987, p. 411). Dengan demikian, jika Indonesia dimasukkan dalam klasifikasi UNIDO tersebut, maka Indonesia masuk dalam kelompok negara dalam proses industrialisasi (industrializing country).
Namun, apakah indikator UNIDO ini yang mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dalam proses industrialisasi telah menunjukkan jenis transforrnasi struktural dalam perekonomian Indonesia ? Terutama dengan adanya fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah terhadap perkembangan sektor industri pengolahan ini bila dikaitkan dengan kebijaksanaan perdagangan.
Pemberian fasilitas tersebut terutama bersifat proteksi, baik tarif maupun bukan tarif. Adapun pemberian fasilitas-fasilitas tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di negara-negara sedang berkembang lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan the infant industry argument, yakni pemberian perlindungan sementara bagi industri-industri yang masih baru dalam menghadapi persaingan pasar dunia. Hal tersebut juga berkaitan dengan Inward-looking strategy yang umumnya juga berlaku di negara-negara sedang berkembang. Masalahnya sekarang adalah apakah perlindungan tersebut masih dalam batas-batas yang dapat diterima atau tidak ? Adapun toleransinya dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: waktu, besar dan caranya proteksi diberikan.
Masalah lain yang cukup pokok bagi Indonesia adalah masalah ketenagakerjaan. Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1988 mengemukakan bahwa penciptaan lapangan kerja bagi angkatan kerja yang jumlahnya makin besar merupakan tantangan utama pembangunan. Di mana kebijaksanaan perluasan lapangan kerja dalam Repelita V dimaksudkan tidak saja hanya sebagai realokasi tenaga kerja semata dari sektor pertanian ke sektor non pertanian melainkan juga untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di berbagai sektor.