UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Pemidanaan dalam Kerangka Pembaharuan Hukum Pidana: Studi pada Kasus Korupsi di Wilayah Eks Karesidenan Semarang

Sri Sumarwani; Muladi, supervisor ([Publisher not identified] , 1990)

 Abstrak

ABSTRAK
Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting yang perlu ditinjau segala aspeknya sehubungan dengan usaha pembaharuan hukum pidana di negara kita. Dikatakan penting bahkan yang terpenting sebab hukum pidana acapkali dikiaskan para ahli sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain ada kalanya merenggut kemerdekaan seseorang untuk sementara, atau untuk selama-lamanya. Salah satu bagian terpenting dari hukum pidana yang perlu untuk diperbaharui tersebut, yang masih kurang mendapat perhatian ialah bagian mengenai Pemidanaan (Sentencing). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada akhirnya akan berpuncak pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan, harta benda, dan bahkan jiwa seseorang. Dalam sistem peradilan pidana adanya disparitas pidana yakni penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau tindak-tindak pidana yang berbeda-beda, tetapi beratnya pemidanaan bisa disebandingkan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan akan tergantung pada subyektivitas hakim. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah pemidanaan khususnya perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dewasa ini yaitu tujuan sistem peradilan pidana adalah selalu bersifat sejahtera baik tujuan jangka pendek berupa pengendalian kejahatan maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial.
Berbicara tentang pemidanaan dengan studi pada kasus korupsi mengandung maksud mengapa khususnya dalam pidana korupsi berkenaan dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dijatuhkan pada pelaku, tidak jauh berbeda dengan pidana pada saat sebelum UU No. 3 tahun 1971 diundangkan, sehingga pemidanaan pada tindak pidana korupsi seperti tidak sesuai dengan maksud pembentukan undang-undang dengan memperberat sanksi pidana. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi gagal. Sebab dalam praktek kenyataannya pidana yang dijatuhkan, disamping pidana badan juga dikenakan pidana denda dan pidana tambahan lain berupa pembayaran uang pengganti. Bahwa maksud dan tujuan UU No. 3 tahun 1971 adalah menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara yang pada hakekatnya adalah mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan oleh perbuatan korupsi tersebut. Untuk mencapai maksud itu, pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan- khusus yang memungkinkan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan cara yang cepat dengan prosedur khusus. Sejak berlakunya UU No. 3 tahun 1971 ternyata tujuan perundang-undangan ini di dalam praktek belum tercapai sepenuhnya.
Pemidanaan badan masih terdapat disparitas yang cukup tinggi dari putusan hakim yang satu dengan yang lain, demikian pula dalam hal penerapan pidana uang pengganti, pidana denda serta pidana tambahan yang lain. Di samping masih banyak persoalan yang menyangkut perbedaan pandangan dalam praktek peradilan, juga ternyata tidak semua perkara tindak pidana korupsi dijatuhi dengan pidana tambahan tersebut. Jadi pokok-pokok permasalahan menyangkut:
1. Di dalam praktek pidana yang dijatuhkan pada tindak pidana korupsi di samping pidana perampasan kemerdekaan juga dikenakan pidana denda, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, dan juga hukuman tambahan yang lain. Bagaimanakah untuk mencapai tujuan perundang-undangan ditetapkan pedoman yang jelas yang merupakan tindak lanjut usaha-usaha sinkronisasi pemidanaan korupsi, sudahkah pertimbangan-pertimbangan tersebut memenuhi syarat pedoman penjatuhan pidana yang bersifat obyektif teoritis.
2. Dalam penentuan pidana khususnya besarnya pidana denda dan pidana uang pengganti belum terdapat pedoman yang jelas mengingat tindak pidana korupsi ini merupakan tindak pidana yang bersifat khusus, apakah pidana denda dan atau pidana uang pengganti tersebut diperhitungkan dengan nilai besarnya kerugian negara akibat korupsi tersebut?.
3. Bahwa maksud diadakannya UU No. 3 tahun 1971 adalah dalam rangka penyelamatan keuangan dan perekonomian negara. Sesuai dengan maksud ini permasalahannya adalah apakah pidana uang pengganti dan atau perampasan barang yang sebagian atau seluruhnya sebagai hasil dari korupsi tersebut dapat diganti dengan kurungan pengganti.
Dengan adanya berbagai permasalahan di atas walaupun dalam pelaksanaannya juga telah dikeluarkan petunjuk misalnya dengan Fatwa MA, Surat Edaran MA, Seminar oleh Kejaksaan Agung, dan sebagainya. Namun dalam penulisan tesis ini penulis ingin meneliti dengan cara mempelajari putusan-putusan kasus korupsi dan mengidentifikasi pendapat para hakim yang pernah memutus kasus korupsi sebagai penelitian lapangan, meskipun dalam penulisan tesis ini yang diutamakan adalah data kepustakaan yang berkaitan dengan hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dengan metode penelitian yang dipergunakan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dapat diharapkan kegunaan penelitian ini bisa terwujud, yaitu:
1. Kegunaan teoritis bagi pengembangan ilmu khususnya mengenai stelsel pidana dan pemidanaan dengan segala aspeknya dalam tindak pidana korupsi yang menyangkut stelsel maupun pelaksanaan dan penerapan pidana itu sendiri sehingga diperoleh informasi yang faktual.
2. Kegunaan praktis untuk dapat menyajikan bahan-bahan keterangan untuk menunjang pembaharuan hukum pidana nasional.
Selanjutnya dari hasil penelitian kepustakaan dan lapangan kami tarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana untuk tiap kasus hakim harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif tindak pidana yang dilakukan, hakim harus memperhatikan sifat perbuatan dan keadaan diri pelaku, efek yang ditimbulkan, serta faktor pencegahan pengulangan perbuatan oleh pelaku dan menjerakan kepada orang lain, untuk tidak melakukan perbuatan serupa.
2. Penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana korupsi tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan di atas. Walaupun demikian ternyata bahwa tinggi rendahnya pidana yang dijatuhkan masih dirasakan adanya disparitas pidana yang sangat tinggi. Oleh karena itu diperlukan pedoman pemidanaan korupsi sehingga tindakan pemidanaan dalam korupsi dapat diterima oleh masyarakat sebagai pidana yang adil.
3. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, dalam penjatuhan pidana terhadapnya di samping dapat dijatuhkan pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda, juga dapat dijatuhkan pidana tambahan yang bersifat khusus (yaitu pidana pembayaran uang pengganti). dengan tujuan mengembalikan kerugian uang negara sebagai akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti baru banyak diterapkan dalam praktek putusan pengadilan pada tahun-tahun terakhir ini dengan gencarnya tekad pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi dan membentuk aparatur negara yang bersih dan berwibawa dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Diperbedakan antara pidana denda dengan pidana uang pengganti. Pidana denda merupakan pidana pokok dan besarnya pidana telah ditentukan oleh undang-undang sendiri yaitu maksimum Rp 30 juta. Sedangkan pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan yang bersifat khusus dan besar kecilnya ditentukan sesuai dengan besar kecilnya kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tersebut. Sedangkan persamaannya pidana denda maupun pidana uang pengganti selalu dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok yang lainnya yaitu pidana penjara.
5. Di dalam praktek pengadilan tentang penjatuhan pidana denda dan pidana uang pengganti dalam putusan kasus korupsi untuk tindak pidana denda selalu disubsiderkan dengan pidana kurungan pengganti apabila denda tidak bisa dibayar. Sedang untuk pidana pembayaran uang pengganti belum ada kesepakatan dapat tidaknya diganti dengan pidana kurungan pengganti walaupun telah ada petunjuk Mahkamah Agung berupa Fatwa dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang eksekusi pelaksanaan pembayaran uang pengganti yang isinya bahwa pidana uang pengganti tidak boleh disubsiderkan dengan kurungan pengganti.
6. Berdasar hasil penelitian di wilayah eks karesidenan Semarang:
a. Tentang pendapat hakim perihal pengembalian kerugian uang negara yang diakibatkan perbuatan korupsi dapat tidaknya seluruh harta terpidana baik yang diperoleh dari korupsi atau bukan untuk disita dan dibayarkan sebagai penggantian kerugian tersebut, hal ini masih terdapat perbedaan pendapat :
Pendapat I yang mendasarkan pada sifat hukum pidana sendiri yaitu harta / benda yang disita adalah harta I benda yang dipergunakan atau diperoleh dari perbuatan pidana.
Pendapat II oleh karena Undang-undang Tindak Pidana Korupsi mempunyai sifat dan ciri-ciri khusus yaitu melindungi kekayaan dan kepentingan negara sehingga untuk mengembalikan kerugian negara tersebut tidak dapat dibebankan seluruhnya pada harta kekayaan terpidana.
b. Perihal pendapat Jaksa Agung RI bahwa kerugian uang negara tersebut dapat ditanggungkan pada anak cucu terpidana terdapat perbedaan pendapat :
Pendapat I setuju oleh karena sifat khusus UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri yaitu melindungi kekeyaan dan keuangan negara.
Pendapat II menolak oleh karena dalam asas hukum pidana seseorang tidak dapat dituntut pidana kalau seseorang itu tidak melakukan perbuatan pidana. Sehingga perbuatan pidana yang dilakukan seseorang tidak dapat dibebankan pidananya pada orang lain. Juga dalam hukum perdata dikenal asas bahwa seseorang hanya bertanggung jawab pada perbuatan yang dibuatnya.
c. Besarnya pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti apakah diperhitungkan dengan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. Terdapat beberapa pendapat :
Pendapat I, karena pidana denda merupakan pidana pokok maka pidana tersebut tidak diperhitungkan dengan penggantian kekayaan negara yang dirugikan akibat korupsi; tapi melulu sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.
Pendapat II, baik pidana denda maupun pidana uang pengganti pada kenyataannya disetor ke Kas Negara, maka pada pokoknya kerugian uang negara tersebut telah kembali.
d. Pada hakikatnya penyitaan dalam hukum pidana dilakukan terhadap harta/benda yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan. Penyitaan atas harta benda milik pelaku korupsi pada hakikatnya justru dalam rangka mengembalikan kekayaan negara sehingga terdapat persesuaian pendapat perihal harta yang disita diperhitungkan nilainya dengan besarnya pidana uang pengganti untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi tersebut
7. Tujuan pokok UU No.3 tahun 1971 adalah melindungi kekayaan uang negara sehingga apabila tujuan pokok tersebut telah terpenuhi dalam arti kerugian uang negara tersebut dapat dikembalikan oleh pelaku, maka perbuatan pidana sebagaimana ditentukan dalam UU No.3 1971 tersebut dapat dikesampingkan, sehingga pidana yang akan dijatuhkan kemudian hanya sebagai tindak pidana biasa pada umumnya sehingga tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana bersyarat pada kasus korupsi. Dari putusan pengadilan di wilayah eks Karesidenan Semarang hal itu tercermin pula.
8. Pedoman pelaksanaan pemidanaan di dalam praktek peradilan untuk jenis-jenis kejahatan tertentu yang sering terjadi pernah dilaksanakan dalam hal ini mengenai maksimum dan minimum pemidanaan serta alasan-alasan memberatkan/meringankan pemidanaan serta melengkapi yang telah ditentukan KUHP sendiri. Di pengadilan wilayah eks Karesidenan Semarang hal ini belum diterapkan sepenuhnya dalam perkara pidana biasa maupun kasus korupsipun seharusnya pedoman pemidanaan juga diterapkan dalam rangka mengurangi disparitas pidana dalam praktek peradilan.

 File Digital: 1

Shelf
 T6876-Sri Sumarwani.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Tesis Membership
No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1990
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : xv, 253 pages : illustration ; 30 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-18-755031249 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 82710
Cover