LATAR BELAKANG PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi kasus mengenai 'perubahan orientasi keagamaan' yang terjadi di Cigugur. Cigugur adalah sebuah kelurahan yang terletak di Kabupaten Kuningan-Jawa Barat.
Di kelurahan ini pernah hidup sebuah aliran yang disebut sebagai Agama (D)jawa Sunda atau yang dikenal pula dengan sebutan Madraisme. Sebutan itu diberikan karena aliran tersebut didirikan oleh seseorang yang dikenal di antara para pengikutnya sebagai Pangeran Madrais Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat.
Agama (D)jawa Sunda pernah menyebar ke pelosok-pelosok Jawa Barat seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, Majalengka serta di desa-desa lain di Kabupaten Kuningan.
Pada tahun 1964 ADS bubar, perkawinan care ADS yang sebelumnya diakui kesahannya oleh negara, dilarang oleh PAKEM Kabupaten Kuningan. Pimpinan ADS pada waktu itu Pangeran Tedjabuwana yang merupakan putra Pangeran Madrais, menyatakan diri masuk menjadi Katolik demikian juga keluarganya. Keputusan pimpinan ADS ini kemudian diikuti oleh sekitar 10.000 orang pengikutnya di seluruh Jawa Barat. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka terjadilah perpindahan masal parapenganut ADS menjadi penganut Agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah kegiatan Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai dan cara hidup Katolik, pihak Gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk mengadakan perbaikan kehidupan material penduduk. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi pemberian bantuan ekonomi, menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal, serta mendidikan pusat pelayanan kesehatan.
Setelah lebih kurang 16 tahun Gereja Katolik melakukan kegiatannya, tepatnya pada tahun 1981, Pangeran Djatikusumah yang merupakan cucu Pangeran Madrais, mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang kemudian disingkat PACKU. Bersamaan dengan berdirinya PACKU tersebut, sekitar 2000 orang Katolik eks ADS di seluruh Keuskupan Bandung mengajukan surat pernyataan keluar dari Katolik dan masuk menjadi anggota PACKU. Surat pernyataan tersebut ditandatangani atau diberi cap jempol oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada pastor di masing-masing paroki.
Tampaknya pemerintah menganggap PACKU sebagai neo-ADS, paguyuban tersebut dilarang dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksanaan Tinggi Jawa Barat Nomor . Kep. 44/K.2.3./8/82. Sebagai akibat larangan tersebut, secara berangsur-angsur ke-2000 orang penganutnya PACKU tersebut ada yang kembali menjadi Katolik, ada yang masuk Islam, ada juga yang tetap menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran kepercayaan. Dalam statistik kelurahan tercatat ada 350 orang, dan mereka dicatat dalam kelompok lain-lain.
Peristiwa berdiri dan dilarangnya PACKU tersebut ternyata menimbulkan berbagai masalah, baik yang menyangkut hubungan antar umat beragama maupun yang menyangkut hubungan antar orangtua dan anak dalam keluarga-keluarga tertentu. Kedua masalah tersebut timbul terutama sehubungan dengan penentuan pilihan agama mana yang mereka rasakan tepat bagi mereka masing-masing.