Perhatian terhadap peranan wanita dalam pembangunan meningkat sejak permulaan tahun 70-an, dan memuncak pada tahun 1975 dengan diproklamirkannya Tahun Wanita Sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada pertengahan tahun tersebut diadakan pula Konferensi Wanita Sedunia di Mexico City. Indonesia sejak dasawarsa tersebut, memperlihatkan berbagai program kegiatan, seminar, lokakarya, penelitian oleh, dari dan untuk wanita. Maksudnya ialah untuk lebih mengenal keadaan wanita dalam masyarakat yang mengalami perubahan pesat, menganalisis apa yang terjadi, serta menemukan cara menanggulangi hal-hal yang perlu diperbaiki atau dihilangkan. Munculnya perhatian ini berarti pengakuan bahwa kaum wanita merupakan sumber manusiawi, seperti tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sama dengan kaum pria (Mely G. Tan, 1984 : v).
Menyadari pentingnya meningkatkan potensi wanita, berbagai studi telah dilakukan untuk menyoroti masalah "wanita dan kerja". Data Studi Makro dan data Studi Mikro menunjukkan dengan "nyata" peranan wanita di pedesaan dalam pekerjaan nafkah di berbagai sektor, pertanian dan non pertanian. Dari data Sensus Penduduk 1980 (Biro Pusat Statistik) nampak bahwa dari 16.9 juta pekerja wanita (dibanding dengan 34.6 juta pekerja pria), sebanyak 9.1 juta (53.8 %) tenaga kerja wanita terlibat di bidang pertanian.
Sekitar 7.8 juta (46.2 %) tenaga kerja wanita terlibat di sektor non pertanian, mencakup bidang dagang, jasa, transportasi dan industri "manufacturing". Data hasil Studi Mikro menunjukkan tenaga kerja wanita sebagian besar berada di bidang industri rumahtangga (seperti industri makanan jadi) dan bidang dagang (makanan jadi, minuman dan rokok). Bidang-bidang usaha ini kini dikenal dengan sektor informal.
Faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi peranan wanita dalam pekerjaan nafkah. Sistem kekerabatan yang berbeda (patrilineal, matrilineal atau bilineal) yang mengenal pola adat menetap (setelah kawin) yang berbeda-beda mempunyai implikasi yang berbeda-beda pula terhadap peranan wanita dalam pekerjaan nafkah.
Sistem kekerabatan patrilineal pada masyarakat Batak menunjukkan kuatnya status sosial laki-laki dalam keluarga dan kerabatnya sejak proses sosialisasi anak sebagai penerus keturunan dan pembawa nama keluarga. Kuatnya peran serta wanita dalam pekerjaan nafkah, khususnya di bidang pertanian memberikan posisi yang kuat pada wanita Batak dalam mengatur perekonomian rumahtangga, hal mana memberikan motivasi yang kuat pada pendidikan anak (Asmi Hutajulu, 1987).
Sistem kekerabatan yang sama (patrilineal) pada masyarakat Bali, dan pengaruh yang besar dari agama Hindu yang mengenal sistem kasta mengembangkan adat istiadat yang khas pula bagi wanita Bali. Dalam mengatasi tuntutan untuk bekerja keras pada wanita Bali dan tak jarang pula disertai dengan imbalan kerja nafkah yang lebih kecil dan penilaian terhadap statusnya yang rendah, ternyata kebiasaan falsafah dan religi menyatakan semua pekerjaan itu adalah "dharma" dan baik, telah membenarkan peran serta wanita Bali dalam pekerjaan nafkah yang dianggap tidak pantas pada wanita Jawa. Hal ini telah membantu jangkauan yang lebih besar terhadap peluang bekerja yang meningkat karena berkembangnya pariwisata di Bali (I Gusti A.A. Ariani, 1986).
Sistem kekerabatan bilineal pada masyarakat Minahasa ternyata menempatkan wanita pada status sosial yang senilai dengan pria, lebih-lebih jika disertai dengan sumberdaya pribadi berupa pendidikan formal yang tinggi pada wanita. Peran serta wanita dalam adat Mapalus di bidang pertanian yang mencerminkan tipe pekerjaan nafkah berburuh tani karena mendapat upah ternyata tidak menempatkan pekerjaan tersebut pada jenjang yang paling rendah seperti pada masyarakat pedesaan di Jawa (A. E. Wahongan Kosakoy, 1987).
Menurut Standing (1981), agak sukar untuk mengungkapkan adanya pola umum tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja wanita karena hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Disamping faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya, partisipasi wanita dalam angkatan kerja juga berhubungan erat dengan siklus kehidupan perkawinan, umur pada kehamilan pertama dan jumlah anak yang dilahirkan (G. Standing, 1985: 395).