ABSTRAKSuatu tahap yang perlu dicatat dalam sejarah Hukum Internasional, khususnya Hukum Laut International, terutama bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) adalah adanya perkembangan Hukum Laut International dewasa ini, yaitu hasil Konferensi Hukum Laut-III/PBB yang membawa makna dan kegunaan yang jauh lebih memadai bila dibandingkan dengan hasil-hasil konferensi Hukum Laut sebelumnya dalam usaha menciptakan suatu tata kehidupan ekonomi international yang baru (New International Economic Order) yang berimbang dalam pemanfaatan laut bagi kepentingan umat manusia.
Hasil Konferensi Hukum Laut-III/PBB tersebut di atas belum lama berselang telah ditandatangani di Jamaica pada akhir tahun 1982, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara peserta konferensi,yang dituangkan dalam "United Nations Convention on the Law of the Sea".
Walaupun untuk berlaku efektif, Konvensi tersebut masih memerlukan ratifikasi dari sekurang-kurangnya enam puluh negara (Article 308 sub 1), namun Konvensi tersebut telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi negara-negara di dunia, khususnya negara-negara pantai maupun negara kepulauan guna mempersiapkan pengaturan secara nasional berkenaan dengan pemanfaatan laut bagi kepentingan negara yang bersangkutan.
Arti dan kegunaan yang sangat penting dan Konvensi tersebut bagi Indonesia yang menganut Wawasan Nusantara adalah diterimanya konsepsi Negara Kepulauan (Archipelagic State concept),yang berarti menunjang Wawasan Nusantara kita, yang dalam GBHN ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai tujuan Pembangunan Nasional (lihat BAB II.E GBHN). Hal tersebut dapat dilihat dengan dicantumkannya satu bab tersendiri mengenai pengaturan negara kepulauan di dalam Konvensi, yaitu Part IV tentang "Archipelagic States".
Konferensi Hukum Laut-III/PBB yang menghasilkan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) tersebut di atas mempunyai corak khusus yang berbeda dengan konferensi-konferensi Hukum Laut Internasional sebelumnya, antara lain:
1.Masalah yang dibicarakan sifatnya menyeluruh yang berkenaan dengan Hukum Laut dan menyangkut kepentingan seluruh negara. Hal tersebut ternyata dari tujuan Konferensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Majelis Umum PBB; "to adopt a convention dealing with all matters relating to the Law of the Sea, bearing in mind that the problem of ocean space are closely interrelated and need to be considered as a whole".
2.Negara-negara berkembang yang tergabung dalam "Kelompok 77" merupakan mayoritas yaitu 2/3 dari seluruh peserta. Karena itu penyelesaian masalahnya lebih ditekankan pada penyelesaian yang bersifat politis dan kompromistis.