Pencemaran lingkungan dapat terjadi apabila suatu kegiatan usaha tidak memperhitungkan biaya pencemaran lingkungan dalam proses produksinya. Gejala seperti ini disebut eksternalitas yang menciptakan ketergantungan antara dua atau lebih kelompok orang yang tidak dapat dinilai dengan uang, Pencemaran lingkungan, terutama sungai oleh limbah cair pabrik banyak terjadi dan biasanya dinilai merugikan masyarakat sekitar yang menggunakan sungai sebagai sumber air. Kerugian yang ditanggung masyarakat dapat digolongkan ke dalam biaya sosial yang harus ditanggung oleh segolongan orang yang diakibatkan oleh kegiatan orang lain.
Agar hal tersebut tidak terjadi, dibutuhkan suatu kerangka berpikir baru, yang menempatkan lingkungan sebagai sumberdaya terbatas sehingga dapat diberlakukan sistem harga bagi siapapun yang menggunakannya. Metode yang dapat digunakan untuk menghitung kerugian yang disebabkan oleh suatu kegiatan industri adalah metode valuasi lingkungan. Dengan kata lain, lingkungan tidak boleh dimasukkan ke dalam komponen eksternalitas ekonomi.
Tujuan penelitian adalah: (1) menentukan efisiensi pengolahan limbah yang tidak merugikan semua pihak yaitu industri, masyarakat, dan alam yang diwakili oleh badan air; dan (2) mengoptimalkan biaya pengendalian pencemaran dan biaya sosial yang ditanggung oleh petani.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode ekspos fakto. Metode ini dipilih dengan mempertimbangkan kecukupan data dari penelitian sebelumnya dan untuk memenuhi persyaratan waktu penelitian yang terbatas. Pada dasarnya penelitian ini dilakukan untuk mengkuantifikasi efisiensi penyisihan bahan pencemar, kerugian masyarakat, dan daya beli masyarakat ke dalam harga dengan menggunakan data sekunder dari hasil penelitian sebelumnya.
Penyisihan bahan pencemar yang optimum adalah antara 52,605% sampai dengan 60,290%. Dalam rentang tersebut, pendapatan petani berkisar antara Rp. 26.321.653 sampai dengan Rp. 34.527.171 per hektar per tahun, sedangkan biaya pengelolaan berkisar antara Rp. 26.321.409 sarnpai dengan Rp. 30.380.888 per hektar per tahun.
Dengan keadaan tersebut maka:
1. Pendapatan petani yang selama ini menggunakan sumber air yang tercemar, akan meningkat, dengan jumlah peningkatan yang berlainan tergantung dari karakteristik sumber air yang digunakannya. Peningkatan pendapatan petani sangat besar, bahkan untuk petani yang menggunakan limbah pabrik gula sebagai sumber airnya, pertambahan keuntungan petani per hektar mencapai 379% pada efisiensi pengolahan 52,605%, dan 5,232% pada efisiensi pengolahan 60,290%. Hal ini kemungkinan besar akan sangat berpengaruh pada perubahan taraf kehidupan petani.
2. Dengan menggunakan harga gula di pasaran saat ini (Rp. 4.000 per kg), maka harga gula akan bertambah antara 0,914% sampai dengan 1,356% per kg. Dengan demikian maka harga gula tidak akan bertambah banyak. Hal ini menunjukan bahwa pengolahan limbah cair akan menambah biaya produksi gula paling tinggi sampai dengan Rp. 55/kg.
Setiap pertambahan jumlah bahan pencemar yang disisihkan, akan menambah biaya pengolahan limbah dan pendapatan petani padi, tetapi dengan membandingkan gradien kedua grafik tersebut terlihat bahwa pertambahan pendapatan petani padi akan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pengolahan limbah.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Efisiensi pengolahan limbah yang tidak terlalu merugikan semua pihak yaitu industri, masyarakat, dan bad an air berkisar antara 52,605% sampai dengan 60,290%
2. Biaya pengendalian pencemaran yang optimum adalah sebesar Rp. 1.645.088.040 sampai dengan Rp. 1.898.805.504 per tahun
3. Biaya sosial yang diderita oleh petani akan menurun sejalan dengan pertambahan keuntungan petani yang kenaikannya berkisar antara 379% sampai dengan 5.232%.
4. Badan air akan lebih mudah menguraikan bahan pencemar karena toksisitas bahan pencemar sudah berkurang.
Dengan demikian maka hipotesis telah teruji: internalisasi biaya lingkungan dengan persentase penyisihan bahan pencemar yang optimum antara 52,605% sampai dengan 60,290%, akan menghasilkan penambahan biaya produk sisebesar 0,914% sampai dengan 1,356% per kg yang lebih rendah dibandingkan dengan biaya sosial yang harus ditanggung petani apabila limbah tersebut tidak diolah yang pendapatannya akan menurun sebesar 379% sampai dengan 5.232%.
Wastewater Treatment Effect On Paddy Farmer's Income (A Case Study at Madukismo Sugar and Rubbing Alcohol Factory, and Paddy Farmers Around the Factory)Environmental pollution could happen if a production activity does not consider its pollution cost. This symptom is called externality that create interdependency between two or more persons group, which cannot be valued by money. Environmental pollution happening on rivers that caused by industrial wastewater usually creates additional social cost. This cost is categorized, as a cost created by a group of person that is has to be overcome by other.In order to avoid this to happen again, it needs a new paradigm that put environment as a limited resource so we could make a price system on its utilization. The method used to calculate this loss (by industrial activity) is called valuation. In another words, environment could not be considered as an economic externality component.The objectives of this research are: (1) to determine the level of wastewater treatment efficiency which make no significant harm to stake-holders: industry, society, and environment (receiving water); (2) to optimize the pollution management cost suffered by industry and social cost suffered by farmers.Research methodology used is expose facto method, This method was chosen with considerations on data availability from previous research and to fulfill the limited research time Basically, this research is conducted to quantify pollutants treatment efficiency, society loss, and public buying capacity into the price using the secondary data of the previous research.The optimum level of pollutants removal is 52,605% - 60.290%. In this range, the profit that could be obtained by fanner is between Rp, 26,321,653 - Rp. 34,527,171 per hectare per year, and the pollution management cost is between Rp. 26,321,409 - Rp. 30,380,888 per hectare per year.Base on the above condition:1. The profit of the farmers who use polluted water will increase, and the amount depends on the characteristics water used. The increase of farmer's profit per hectare could reach 379% on treatment efficiency level of 52.605%, and 5.232% on treatment efficiency level of 60.290%. The profit will greatly affect the farmer's living standard.2. Using the recent sugar price (Rp. 4,000 per kg), it will raise up to 0.914% to 1.356% per kg. Consequently, the price of sugar will not increase significantly. The wastewater management will add the sugar price only by Rp. 55/kg.On item added of pollutant removed, it will increase the wastewater management cost and the farmer's profit. But by comparing the gradients of both graphs, the profit is still much bigger than the wastewater management cost.The conclusions of this research are:1. The optimum wastewater treatment efficiency for all stakeholders is around 52.605% - 60.290%.2. The optimum wastewater management cost is between Rp. 1,645,088,040 to Rp. 1,898,805,504 per year.3. The social cost suffered by farmers will decrease along with the increase of their profit that could reach 379% to 5,232%.4. The receiving water will degrade the pollutants easily because the toxicity of the pollutants has significantly reduced.Therefore, the hypothesis stated on section 1.5 has been proved that the internalization of the environmental cost into the optimum pollutants removal (between 52.605% to 60.290%), will increase the product's price to 0.914%to 1.356% per kg which is lower than the social cost suffered by farmers if the wastewater is not treated (between 379% to 5,232%).