Memasuki era pemerintahan baru pasca pemilu 2004 yang dianggap cukup demokratis, indikator-indikator kinerja perbankan Indonesia relatif membaik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Membaiknya profitabilitas bank-bank di Indonesia terlihat pada Net Interest Income (NII), Net Interest Margin (NIM) dan Return on Assets (ROA) yang cenderung meningkat sebagai akibat dari meningkatnya spread antara suku bunga kredit dan dana. Disamping itu, Capital Adequacy Ratio (CAR) juga terus membaik, mencapai di atas 20%, jauh di atas persyaratan minimum yang ditetapkan Bank Indonesia (Sarjito, 2004). Perkembangan perbankan yang membaik tersebut mencakup pula sub-sektor perbankan syariah. Dengan menerapkan sistem bagi hasil yang relatif baru di Indonesia dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional, perbankan syariah di Indonesia berhasil meraih perkembangan aktiva yang pesat. Pasar bank syariah di Indonesia diperkirakan masih terbuka luas dan belum jenuh. Pada tahun 2005 diperkirakan masih 20 bank (empat bank swasta nasional dan 16 bank pembangunan daerah) akan membuka divisi syariah. Saat ini sudah 19 bank yang diberi izin beroperasi secara lslami. Tahun 2006 diperkirakan bahwa hampir semua bank sudah punya divisi syariah.
Namun perbankan syariah di Indonesia diperkirakan tidak dapat terus menikmati perkembangan pesat tersebut, jika hanya mengandalkan pasar loyalis, yaitu golongan umat Islam yang mengharamkan riba. Telah tiba waktunya bank-bank syariah mulai menggarap pasar rasional, yang umumnya mempunyai kemampuan financial menengah ke atas dan dapat diharapkan untuk senantiasa aktif dalam kegiatan penyimpanan dana dan pembiayaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasionalitas dan kepercayaan pasar akan kinerja bank merupakan kunci sukses pengembangan perbankan syariah di masa yang akan datang. Terlebih lagi jika bank-bank syariah hendak berekspansi, sudah tentu kepercayaan investor sangat diperlukan untuk memperoleh tambahan modal. Untuk dapat mempertahankan investor yang telah ada dan menarik investor baru, bank syariah harus menunjukkan kinerja yang meyakinkan, profitabilitas, dan nilai tambah ekonomis (economic value added) terhadap investasi mereka. Untuk mencapai tujuan strategis tersebut, sebagaimana pada perusahaan-perusahaan di sektor lainnya, pada bank syariah diperlukan antara lain adanya piranti ukur kinerja yang dapat secara cukup akurat menunjukkan seberapa tinggi profitabilitas dan nilai tambah bagi pemodal yang diciptakan dari kegiatan bisnis perbankan yang dilakukan bank tersebut. Salah satu konsep yang dapat diajukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut analisis profitabilitas produk perbankan dengan menggunakan gabungan konsep ABC (Activity-Based Costing) dan EVA (Economic Value Added).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa kinerja suatu perusahaan dapat dipengaruhi oleh kualitas sistem informasi biayanya. Semakin andal informasi biaya yang tersedia, makin andal pula pijakan untuk pengambilan keputusan, dan pada akhirnya berimbas pada makin tepatnya pengambilan keputusan bisnis serta makin baik pula kinerja perusahaan secara keseluruhan (Roztocki, 2001). ABC adalah sistem pengukuran biaya produk (costing system) yang dianggap lebih andal dari sistem biaya tradisional, yang telah banyak diterapkan pada perusahaan-perusahaan manufaktur selama lebih dari satu dekade yang lalu (Cooper, 1988). Dalam banyak kasus, implementasi ABC telah banyak menunjukkan kontribusi yang positif terhadap efisiensi penggunaan biaya overhead perusahaan (Cooper & Kaplan, 1991). Di samping sektor manufaktur, ABC juga telah banyak diterapkan di perusahaan jasa, termasuk perbankan (Mays & Sweeney, 1994; Lambert & Whithworth, 1994; Krupnicki & Tyson, 1997; Garrison & Noreen, 1997).
ABC dapat dikatakan andal dalam menelusuri biaya overhead untuk mengukur profitabilitas produk secara lebih akurat, namun sayangnya tidak mempertimbangkan biaya modal (capital cost). ABC hanya berfokus pada data laporan biaya perusahaan, dan tidak memperhatikan informasi pada neraca (Roztocki & Needy, 1999). Guna menghasilkan analisis biaya yang lebih lengkap dan lebih andal lagi, beberapa ahli menganjurkan untuk menggabungkan sistem ABC dan EVA (Hubbell, 1996; Roztocki & Needy, 1998; Cooper & Slagmulder, 1999). EVA (Economic Value Added) merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Stern Stewart & Co., yang mengklaimnya sebagai ukuran kinerja.yang paling dapat mencerminkan profit ekonomis perusahaan yang sebenarnya, dan dapat mengkaitkannya dengan penciptaan nilai tambah terhadap kekayaan pemilik modal (Stewart, 2005). Dalam gabungan konsep ABC dan EVA, komponen ABC sebagai sistem biaya digunakan untuk menelusuri biaya overhead secara akurat dan lebih banyak menggunakan informasi dari laporan laba rugi, sedangkan komponen EVA digunakan untuk menghitung estimasi biaya modal.
Dengan demikian, analisis profitabilitas produk yang dibuat dengan gabungan konsep ABC dan EVA akan menghasilkan angka profit yang dihasilkan setiap produk, yang telah memperhitungkan pembebanan biaya overhead atau biaya umum yang lebih akurat ke setiap produk, sekaligus mencerminkan berapa nilai tambah (added-value) yang dihasilkan setiap produk terhadap modal yang ditanam oleh investor. Integrasi ABC dan EVA telah berhasil diterapkan dibeberapa perusahaan manufaktur (Roztocki, 200O), namun sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah diimplementasikan untuk perbankan, apalagi syariah yang memiliki karakteristik operasional yang cukup unik. Oleh karena itulah dalam karya akhir ini penulis hendak mencoba menyajikan model analisis profitabilitas untuk produk-produk perbankan syariah dengan menggunakan integrasi konsep ABC dan EVA. Untuk mempermudah penyajian model analisis, dalam karya akhir ini penulis menggunakan alat bantu kalkulasi kuantitatif dan analisis kualitatif dengan dasar informasi biaya dan keuangan Bank Syariah ?X? untuk periode akuntansi yang telah berlalu (data historis). Bank Syariah ?X? adalah sebuah Bank Syariah yang berkantor pusat di Jakarta, Indonesia.
Tujuan penelitian dan penulisan karya akhir ini adalah untuk mengajukan model alternatif untuk melakukan analisis profitabilitas produk pembiayaan untuk suatu bank syariah, mengingat masih sangat jarang praktisi manajemen yang menaruh perhatian besar pada pengembangan konsep-konsep pengendalian dan manajemen biaya untuk sub-sektor perbankan syariah. Diharapkan bahwa meskipun masih banyak memiliki kekurangan dan keterbatasan, model analisis yang disajikan dalam karya akhir ini dapat menjadi referensi bagi pengembangan model analisis sejenis yang lebih baik lagi dan menggunakan variabel serta data yang lebih lengkap, khususnya untuk bank-bank syariah.
Penelitian ini merupakan analisis deskriptif, dan berusaha mengaitkan analisis dan perhitungan kuantitatif serta informasi kualitatif dengan gagasan model analisis alternatif yang relatif baru dalam artian ketiadaan contoh aplikasi nyata, namun sebenarnya didasarkan pada model-model yang telah dibuat oleh para ahli sebelumnya, terutama penelitian dan tulisan tentang ABC, EVA, dan model integrasi ABC dan EVA. Modifikasi atas beberapa bagian data dilakukan untuk mempermudah, memperjelas, dan mencapai tujuan analisis. Penggunaan data kuantitatif tersebut tidak dimaksudkan untuk mempublikasikan detail kinerja bank syariah yang menjadi sumber data, oleh karena itu penulis tidak menyebutkan nama bank tersebut secara eksplisit. Tiadanya penyebutan nama bank juga dimaksudkan agar model analisis dalam karya akhir ini jauh dari kesan asosiatif terhadap satu bank syariah tertentu saja, namun dapat menjadi gambaran yang seoptimal mungkin dapat merepresentasikan sistem operasional bank syariah secara umum.
Dari hasil analisis dalam karya akhir ini diketahui bahwa produk pembiayaan Bank Syariah "X" yang paling profitable dan memberikan nilai tambah (EVA) yang terbesar bagi pemodal adalah produk BBA (Bai Bithaman Ajil). Produk tersebut memberikan keuntungan (bagi hasil) yang sangat besar, sementara biaya operasinya (hasil kalkulasi ABC) relatif sangat kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Setelah dibebankan biaya modal yang sebanding dengan proporsi dana yang diserap, produk pembiayaan ini masih memberikan nilai EVA yang terbesar. Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen dan pemilik modal perusahaan bahwa produk pembiayaan BBA sangat menguntungkan untuk terus dipertahankan karena memberikan profit bagi perusahaan sekaligus potensi nilai tambah yang sangat besar bagi penanam modal.
Dengan melihat volume dana yang diserap oleh produk ini (58,66% dari total dana pembiayaan), dapat disimpulkan bahwa keuntungan yang besar juga diperoleh berkat tingginya minat para nasabah pembiayaan (peminjam) dalam mempergunakan fasilitas pembiayaan BBA. Tingginya minat nasabah akan produk ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya menariknya paket pembiayaan (nisbah bagi hasil, periode pinjaman, dan sebagainya), konsep dan strategi pemasaran yang tepat, ataupun kemungkinan tingkat kompetisi yang belum terlalu tinggi untuk produk sejenis dalam industri perbankan syariah. Sedangkan tingkat biaya operasi (hasil kalkulasi ABC) yang relatif sangat rendah dibandingkan dengan tingkat penjualan dan keuntungan produk menunjukkan bahwa secara umum biaya aktivitas yang dilakukan untuk mengelola produk ini sangat efisien.
Penelitian lebih lanjut tentang akar penyebab (root causes} fenomena ini akan sangat membantu manajemen, terutama untuk mengetahui mengapa produk-produk lain mengkonsumsi biaya aktivitas yang sangat besar jika dibandingkan dengan volume produk dan tingkat keuntungannya. Misalnya, untuk produk pembiayaan mudharabah, keuntungannya sangat tipis dibandingkan dengan biaya operasi (hasil kalkulasi ABC), sehingga ketika dibebani biaya modal, nilai EVA-nya menjadi negatif. Keuntungan yang kecil mungkin terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat penjualan produk pembiayaan ini, yang bisa berarti sangat kurangnya minat masyarakat terhadap produk tersebut. Alokasi dana yang dikeluarkan untuk produk pembiayaan ini hanyalah 6,13% dari total dana pembiayaan, sehingga keuntungan bagi hasil yang diperolehpun sangat kecil.
Biaya aktivitas (hasil kalkulasi ABC) yang sangat besar dibandingkan dengan rendahnya volume pembiayaan menjadi pertanyaan yang harus diselidiki lebih lanjut oleh manajemen, apakah terdapat banyak aktivitas yang tidak bernilai tambah dalam pengelolaan operasional produk tersebut. Misalnya terlalu banyaknya waktu menganggur para staf marketing yang ditugaskan untuk memasarkan produk tersebut. Karena ternyata biaya operasi produk mudharabah hampir sama dengan biaya produk BBA yang volume pembiayaan dan keuntungannya jauh lebih besar. Rendahnya minat masyarakat terhadap pembiayaan mudharabah dapat pula disebabkan oleh kurang menariknya paket pembiayaan tersebut. Hal yang hampir sama juga berlaku untuk produk musyarakah. Keuntungan produk ini sangat kecil sehingga hanya dapat menutupi biaya operasi (hasil kalkulasi ABC) namun tidak dapat menutupi biaya modal, sehingga nilai EVA-nya negatif.
Model analisis dalam karya akhir ini belumlah sempurna karena berbagai keterbatasan, namun kiranya dapat dimanfaatkan oleh manajemen bank-bank syariah sebagai bekal konseptual guna merancang model yang lebih definitif dan menggunakan variabel yang lebih aktual. Analisis demikian akan sangat bermanfaat sebagai piranti pengendalian manajemen dan pengelolaan kinerja produk. Tindakan manajemen dalam merespon hasil analisis profitabilitas tersebut akan sangat menentukan respons dan minat penanaman dana (pemodal) untuk menginvestasikan dananya ke bank syariah, baik berupa tabungan, deposito, maupun dalam bentuk pemilikan surat berharga perusahaan (saham, obligasi, dan sebagainya). Semakin banyak produk-produk yang dilaporkan memiliki EVA negatif, akan memberikan warning kepada investor bahwa manajemen bank tersebut kurang baik dalam mengelola dan memasarkan produk-produknya.
Bagi pemilik dana tabungan atau deposito, informasi tersebut berguna untuk mempertimbangkan keputusan berikutnya untuk mempertahankan atau menambah penanaman dana di bank bersangkutan terkait dengan kemungkinan nisbah bagi hasil yang dapat diperoleh, karena bagi hasil untuk penabung akan sangat bergantung pada kinerja produk pembiayaan. Sebaliknya bagi manajemen, nilai EVA per produk dapat dijadikan landasan keputusan untuk menerapkan strategi produk selanjutnya, apakah harus mempertahankan produk tertentu, memompa pemasaran produk tertentu, atau mengeliminasi produk tertentu, sehingga kinerja perusahaan secara keseluruhan menjadi lebih baik. Analisis profitabilitas yang menghasilkan nilai EVA per produk seperti di atas dapat menyelaraskan tindakan dan upaya manajemen dalam mengelola usaha bank dengan keputusan dan harapan pemilik dana (pemegang saham, penabung, dan kreditor). Jika tercapai keselarasan tersebut, bank-bank syariah akan dapat lebih besar lagi memperoleh kepercayaan dari para pemodal dan pemilik dana, dan meraih pasar yang lebih luas lagi.