Terus menurunnya tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Jawa Tengah antara 2002 sampai 2004 dan dimulainya otonomi daerah sejak 2001, kemungkinan memiliki keterkaitan. Karena atas dasar desentralisasi fiskal, pemerintah pusat telah melakukan transfer dana yang cukup besar dan semakin besar jumlahnya dari tahun ke tahun kepada pemerintah daerah.
Penelitian ini ingin menjawab apakah secara statistik terbukti ada kaitan signifikan antara tingkat kemiskinan dengan anggaran belanja pembangunan daerah, yaitu pengeluaran pembangunan yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini, digunakan studi kasus kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Todaro bahwa tingkat kemiskinan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan daerah rata-rata dan distribusi pendapatan di daerah tersebut (Todaro, 2000) dan strategi mengatasi kemiskinan menurut World Bank, yaitu: (1) mendorong pertumbuhan ekonomi; (2) human capital invesment; dan (3) menyediakan jaminan sosial (World Bank, 1990 dan World Bank, 2001) maka anggaran belanja pembangunan daerah diduga secara signifikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan suatu daerah.
Penelitian ini mengamati proses bagaimana pendapatan daerah mempengaruhi kemiskinan, yaitu dengan melihat pola anggaran belanja untuk kebutuhan pembangunan yang dilokasikan kepada tiga jenis pengeluaran. Pertama, pengeluaran untuk kebutuhan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengeluaran untuk human capital investment. Ketiga, pengeluaran untuk menyediakan jaminan sosial.
Temuan utama dari penelitian ini adalah pembuktian bahwa ketiga jenis pengeluaran tersebut berpengaruh terhadap ketiga jenis ukuran kemiskinan, yaitu: tingkat kemiskinan, tingkat kedalaman kemiskinan, dan tingkat keparahan kemiskinan di Jawa tengah. Lebih jauh lagi, penelitian ini mendukung hipotesa adanya hubungan yang searah antara usaha pertumbuhan ekonomi dan usaha mengurangi kemiskinan, terbukti dan hubungan yang negatif antara tingkat kemiskinan dengan pengeluaran dalarn rangka pertumbuhan ekonomi.
Selanjutriya, penelitian ini juga mendukung argumentasi inverted U-curve dari Simon Kuznets bahwa pada awal pembangunan pertumibuhan ekonomi akan mengakibatkan membesarnya ketimpangan distribusi pendapatan seperti yang ditunjukkan oleh hubungan yang positif antara kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan dengan alokasi pengeluaran untuk pertumbuhan ekonomi.
Penelitian ini juga mendapatkan basil bahwa alokasi pengeluaran untuk human capital investment belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan, walaupun tingkat keparahan kemiskinan dapat dikurangi. Hal ini terlihat pada hubungan yang positif antara tingkat kemiskinan dengan alokasi pengeluaran untuk human capital investment dan hubungan negatif antara tingkat keparahan kemiskinan dengan jenis pengeluaran tersebut.
Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk kepentingan menyediakan jaminan sosial telah berhasil memperbaiki tingkat kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan. Hal ini terbukti dengan hubungan yang negatif antara tingkat kemiskinan dengan pengeluaran untuk menyediakan jaminan sosial. Alokasi ini juga mengurangi kesenjangan antara penduduk miskin dengan garis kemiskinan dan memperbaiki tingkat distribusi pendapatan antar penduduk miskin. Hal ini terbukti dengan hubungan yang juga negatif antara tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan dengan pengeluaran untuk jenis alokasi ini.
Mengingat masih beaarnya jumlah kemiskinan pada sebagian besar kabupaten/kota di )awa Tengah maka pola anggaran belanja pembangunan kabupaten/kota sudah seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan kemiskinan. Alokasi anggaran yang bersifat pro-poor, artinya lebih memberi keuntungan bagi keiompok masyarakat yang miskin mesti didefinisikan dalam usaha pengentasan kemiskinan ini.
Untuk itu, pemerintah kabupaten/kota perlu m.engorientasikan anggaran belanja pembangunannya pada tiga program berikut, yaitu: pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan kesempatan kerja; kedua, meningkatkan human capital investment, dan ketiga, menyediakan jaminan sosial. Anggaran untuk ketiga program ini perlu diprioritaskan dengan dan implementasinya perlu diawasi sehingga benar-benar mencapai target kelompok miskin dan lebih memberi manfaat kepada kelompok ini ketimbang kelompok tidak miskin.
Tingkat kemiskinan, tingkat kedalaman kemiskinan, dan tingkat keparahan kemiskinan (Po, P1, dan P2) menunjukkan hal yang berbeda namun berfungsi saling melengkapi, ketiganya sangat penting menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Karena itu, upaya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, pemerintah kabupaten/kota harus pula mempertimbangkan masalah kedalaman dan intensitas dari kemiskinan tersebut (P1, dan P2), tidak hanya berorientasi pada jumlah absolut kemiskinan (Po).