Demokratisasi di Indonesia telah merebak disegala bidang, bukan saja dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi lebih jauh lagi, pemilihan kepala daerah pun sudah memakai mekanisme pemilihan langsung. Dengan payung hukum yang sudah disediakan dalam hal mekanisme, mulai dan langkah-langkah persiapan sampai dengan saat pemilihan kepala daerah, bahkan antisipasi bila terjadi sengketa pun sudah dibuatkan peraturan perundangannya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, untuk sengketa Pilkada telah diatur bahwa kewenangan penyelesaiannya oleh Panwas untuk sengketa dalam proses penyelenggaraan Pilkada, sedangkan untuk sengketa hasil penghitungan suara Pilkada, ditangani oleh Lembaga Peradilan. Lembaga peradilan yang ditunjuk oleh Undang-Undang tersebut adalah Mahkamah Agung. Dalam hal pemilihan kepala daerah Kabupaten dan Kota, Mahkamah Agung dapat mendelegasikan kewenangan penyelesaian sengketa hasil penghitungan suara pilkada Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi, dalam lingkup Peradilan Umum, yang putusannya bersifat final dan mengikat, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketika putusan Pengadilan Tinggi dalam sengketa pilkada tersebut dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, apa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak untuk menyelesaikan masalah sengketa tersebut. Pada kenyataannya dalam menyelesaikan persoalan diatas, para pihak dapat melakukan terobosan hukum dengan melakukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memang mendapatkan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pilkada, pendelegasian kewenangan dan Mahkamah Agung kepada Pengadilan Tinggi dalam hal kewenangan menyelesaian sengketa hasil penghitungan suara Pilkada dapat ditarik kembalildiambil alih oleh Mahkamah Agung dan kemudian diselesaikan sendiri oleh Mahkamah Agung, bilamana Pengadilan Tinggi telah melampaui kewenangan yang diberikannya, yaitu hakim telah melakukan kesalahan yang nyata. Dan ini juga merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan dan mahkamah Agung kepada lembaga peradilan dibawahnya. Menjadi permasalahan berikutnya adalah selama proses peninjauan kembali dalam hal sengketa pilkada tentunya didaerah yang sedang bersengketa tersebut belum ada kepala daerah yang difinitif. Ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja dari pemenntahan daerah, apalagi kalau putusan peninjauan kembali berlarut-larut tidak kunjung selesai. Untuk itu perlu dibuat aturan baru atau diamandirnya peraturan yang sudah ada, dan dimasukkan klausul yang berkenaan dengan berapa lama proses peninjauan kembali yang berkenaan dengan sengketa pilkada tersebut dapat diselesaikan oleh Mahkamah Agung.