Studi ini diharapkan bisa memberikan penjelasan tentang bagaimana setiap orang dari dua kelompok etnis yang berbeda dapat mengegosiasikan identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial yang memungkinkan mereka bertemu, berkomunikasi dan saling mempengaruhi. Dengan pendekatan fenomenologi, studi ini mengkombinasikan metodologi guna memeperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena yang dikaji. Model triangulasi yang dipakai adalah the dominant-less dominant design, yaitu paradigma dominan (interpretif) dilengkai satu komponen kecil paradigma alternatif (positivisme). Studi menghasilkan konstruksi bangunan komunikasi yang memungkinkan kedua kelompok etnis menjalin komunikasi yang memungkinkan kedua kelompok etnis menjalin interaksi yang setara sebagai hasil dari negosiasi identitias kultural.