Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial membuat manusia tidak pemah lepas dari interaksinya dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Salah satu bentuk hubungan interpersonal yang sering terjalin dan merupakan hubungan yang unik adalah hubungan cinta. Bagi individu yang berada di tahap usia dewasa muda, hubungan tersebut dipandang menjadi sesuatu yang lebih bermakna karena terkait dengan tugas perkembangan yang menuntut mereka untuk mampu menjalin intimacy dalam hubungannya dengan lawan jenis. Sulivan (Steinberg, 1999) menyatakan bahwa keintiman dengan lawan jenis umumnya terjadi dalam konteks berpacaran.
Hubungan pacaran yang dilakukan oleh individu pada tahap dewasa muda cenderung lebih bersifat serius, intim dan eksklusif dibandingkan hubungan yang dilakukan pada tahap remaja. Keintiman tersebut diantaranya ditandai dengan komitmen untuk meneruskan hubungan meski memerlukan pengorbanan dan kompromi. Didasarkan pada hal itu maka hubungan pacaran di tahap tersebut seringkali dipandang sebagai prakondisi pernikahan (Basow, 1992).
Hal yang kemudian penting untuk dilakukan setelah individu dewasa muda mulai menjalin hubungan pacaran adalah mempertahankan kelangsungan hubungan itu sendiri hingga dapat mencapai jenjang pernikahan. Upaya tersebut tidak mudah karena masing-masing individu, sebagai pria dan wanita, telah memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar atau built-in differences (Buss, dalam Baron & Byrne, 1994). Sebagai contoh, kaum wanita lebih mencari pasangan yang mampu memberikan kasih sayang dan perlindungan, dimana jika hal itu tidak mampu dipenuhi maka mereka akan merasa sangat kecewa. Seorang pria akan dianggap sebagai pria sejati bila ia kuat, tidak mengenal takut, bertanggung jawab, reaktif dan tidak bersinggungan dengan hal apapun yang terkait dengan feminitas, termasuk seperti pengekspresian emosi (Home & Kiselica, 1999). Sementara itu, kaum pria dianggap lebih memilih pasangan dengan mengutamakan daya tank fisik, seperti berusia muda dan sehat.
Peneliti kemudian menjadi tertarik untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai hubungan pacaran yang dijalani oleh pria dewasa muda yang berstatus sebagai anak bungsu sekaligus anak laki-laki satu-satunya. Meski merupakan anak laki-laki namun dengan statusnya sebagai anak bungsu, pria tersebut seringkali juga dipandang sebagai individu yang tidak ambisus, lebih mengharapkan wanita untuk menyayangi dan memanjakannya, kurang bertanggung jawab, serta kurang mampu menjadi pemimpin atau pelindung yang baik (Taman, dalam Shipman, 1982). Dengan sejumlah karakteristik itu maka pria dengan status seperti diatas nampak memiliki sejumlah kesulitan untuk memenuhi harapan atau tuntutan kaum wanita pada umumnya mengenai pria yang akan menjadi pasangan hidupnya. Kondisi tersebut, dalam perkembangannya dapat pula memunculkan stres pada pria yang bersangkutan.
Lazarus (1976) menyatakan bahwa stres muncul bila suatu tuntutan, baik berupa tuntutan internal (dalam diri) maupun eksternal (lingkungan fisik & sosial), sudah terasa membebani atau menekan bagi individu yang bersangkutan. Ketidaknyamanan yang dirasakan akibat stres pada umumnya akan membuat individu melakukan upaya untuk mengatasi hal tersebut, atau melakukan coping stres. Dalam penelitian ini, gambaran mengenai stres dalam hubungan pacaran dari subjek akan dilihat dari sembilan aspek intimacy yang dikemukakan oleh Orlofsky, sementara gambaran mengenai coping yang dipilih subjek akan mengacu pada jenis coping menurut Lazarus & Folkman.
Dalam pelaksanaan penelitian ini akan digunakan metode kualitatif, dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, dengan menggunakan pedoman wawancara umum, dan observasi. Adapun individu yang menjadi partisipan dalam penelitian adalah pria dewasa muda, berusia 18 - 35 tahun, merupakan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, dan sedang menjalani hubungan pacaran.
Dari penelitian yang dllkukan, diperoleh gambaran secara umum bahwa dari ketiga subjek yang menjadi partisipan, subjek pertama dan kedua mengalami stres yang berbentuk konflik dan terkait dengan aspek komitmen, yaitu dalam upaya memenuhi kebutuhan pasangan untuk menjalankan sejumlah peran gender tradisional bagi pria dewasa. Selain itu, kedua subjek tersebut juga cenderung menggunakan emotion focused coping sebagai cara menghadapi masalah yang dipersepsi sebagai masalah berat. Sementara subjek ketiga juga mengalami stres berbentuk konflik, namun terkait dengan aspek yang berbeda, yaitu aspek perspective-taking, dan lebih menggunakan jenis problem focused coping.