Sebelum masuk dan berkembangnya agama Buddha, masyarakat Jepang telah mempunyai suatu sistem kepercayaan tradisional. Sistem kepercayaan ini, secara konseptual belum tertata dengan baik, Bahkan keberadaannya sebagai agama asli orang Jepang pun tidak disadari oleh masyarakat Jepang sendiri. Hal ini disebabkan karena kepercayaan ini dianggap sebagai bagian dari tradisi kehidupan sehari-hari, terutama sebagai kanshu (kebiasaan) atau shuzoku (adat istiadat). Sistem kepercayaan ini kemudian dinamakan sebagai ko-shinto (Shinto kuno). Ko-shinto bukan merupakan prinsip moral atau doktrin-doktrin yang bersifat filosofis, melainkan sistem pemujaan kepada alam yang berkaitan dengan sumber kehidupan utama masyarakat Jepang waktu itu, yaitu pertanian. (Ishida Ichiro, 1963: 18)
Oleh karena itu, berkembanglah pemikiran pemikiran yang beranggapan bahwa: (1) benda-benda dan tumbuh-tumbuhan mempunyai jiwa; (2) alam semesta merupakan kumpulan kekuatan ghaib (supernatural), baik benda - benda yang terdapat di alam (misalnya, matahari, bulan, gunung, sungai, dan Sebagainya) maupun benda-benda buatan manusia (seperti, pedang, tombak, dan sebagainya) serta kekuatan mantera-mantera yang berasal dan orang-orang tertentu, yang dipercaya memiliki kekuatan ghaib (seperti itako dan gomiso, sebutan bagi dukun di dalam tradisi Jepang); dan (3) arwah atau roh prang yang telah meninggal bersemayam di gunung-gunung, di pantai, dan sebagainya.