Aku yang ambigu, Sintesa Amara Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan. Konsep Aku yang ambigu merupakan upaya pengkajian ulang atas pertanyaan, apa artinya menjadi manusia? Secara teknis pertanyaan ini berusaha dijawab dengan suatu usaha sintesa di antara pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan tentang manusia. Merleau-Ponty mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang babas, otonom dan utuh secara individual. Sebaliknya menurut Jacques Lacan manusia adalah makhluk yang "calf' dan terkungkung dalam berbagai bentuk simbolis bahasa dan penanda Perbedaan ini merupakan konsekuensi logis dari kelanjutan perdebatan dan atau proses transisional humanitas manusia dari zaman modern ke zaman post-modern. Manusia dalam zaman modern dipandang sebagai makhluk yang rasionalobjektif-universal sedangkan pada zaman post-modem manusia adalah irrasionalsubjektif-partikular, tergeser dari pusat kesadarannya dan tercecer ke sudut-sudut ketidaksadaran naluriah yang asli dan purba.
Konsep Aku yang ambigu lebih jauh merupakan refleksi kritis atas perkembangan penyelidikan manusia dari zaman ke zaman di mana pada dasamya dalam keseluruhan dan kesatuan hidupnya bermakna ganda bahkan multi dimensional. Maksudnya manusia sejak dilahirkan memiliki potensi untuk ambigu dalam arti sebagai makhluk yang ambivalen, paradoks bahkan kontradiksi dalam dirinya sendiri maupun ketika berada di dalam dunianya.
Identitas Aku yang ambigu menjadi tidak terbantahkan ketika sudah dieksplisitkan dalam perilaku dan wujud kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat penyelidikan tentang manusia sampai detik ini tidak pernah berhenti dan mengenal kata akhir.
Dalam penelitian ini kenyataan dan realitas seperti yang terungkap di atas dirumuskan ulang dan disistematisasikan dalam kerangka tematis filsafat manusia bahwa manusia adalah makhluk yang ambigu. Ada tiga hal penting untuk dikatakan sehubungan dengan rumusan tersebut. Pertama aspek ketidaksaran atau irrasionalitas dalam konsep Aku yang ambigu yang menandakan bahwa keambiguitasannya bertempat dalam wilayah naluriah atau dunia bawah sadar manusia sehingga memang sudah merupakan fitrah dan asli. Aspek yang kedua adalah aspek ketubuhan dan aspek yang ketiga adalah aspek kebahasaan. Aspek yang kedua dan ketiga ini satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Keduanya berperan membentuk individu yang berperilaku arnbigu antara yang bertubuh dan berbahasa. Kenyataan atas ambiguitas antara aspek yang kedua dengan aspek yang ketiga membangun rumusan baru bahwa Aku kini menjadi ambigu antara Aku yang penuh atau Aku yang cair.
Jalan ambiguitas bukan jalan tengah atau jalan dengan mengambil satu pengertian saja dari dua pengertian yang ada dan pada saat yang sama menghilangkan pengertian yang lain. Jalan ambiguitas juga bukan berarti bahwa kedua pengertian (potensi) dilebur ke dalam suatu definisi baru tentang sesuatu (Aku) tetapi lebih dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang mendasarkan diri pada temporalitas. Maksudnya kedua pengertian tersebut sama-sama berpotensi mengaktualisasikan diri dalam ruang dan waktu yang melingkupinya.