Resisten klorokuin merupakan masalah penanggulangan malaria di Indonesia, terutama di Papua. DaIam rangka menilai efikasi pengobatan malaria yang tersedia di Timika, Papua, telah dilakukan uji pengobatan klorokuin dan atan fanpa sulfadoksin-pirimetamin. Pasien dengan malaria Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale atau P. malariae tanpa komplikasi ditkulkan datum stiuli dan diberikan obat klorokuin plus sulfadoksin-pirimetamin (malaria falsiparum) afau klorokuin (malaria non-falsipanim) dengan pengawasan ininum obat. Selanjutnya pasien dipantau selama 28 sampai 42 hari. Pasien yang tidak sembuh akan diobali ulang dengan kina dan atau tanpa doksisiklin. Sebanyak 207 pasien diikutkan dalam studi (88 P. falciparum, 40 P. vivax, 15 campuran P. falciparum dan P. vivax, 50 P. malariae dan 14 P. ovale). Kegagalan pengobatan dini ditemukan 4 dan 86 pasien (5%) dengan malaria falciparum, 6 dari 37 pasien (16%) dengan malaria vivaks dan tidak dijumpai pada jenis infeksi yang laiimya. Kegagalan pengobatan pada hari ke-28 untuk P. vivax sebanyak 22 dart 30 pasien (73%) dengan konsentrasi klorokuin daiain plasma lebih linggi dari konsentrasi efektif minimal (Minimum Effective Concentration/MEC>15ng/inl). Setelali dikoreksi dari adanya infeksi yang baru, angka kegagalan pengobatan kasep pada hari ke-42 untuk malaria falciparum 48%[95%:CI 31-65] dan 61 % di antaranya dengan konsentrasi klorokuin lebih dari 30ng/ml. Pasien yang tidak sembuh diberikan pengobatan itiang dengan kina dan afau lanpa doksisiklin tanpa pengawasan mimtm obat. Angka kegagalan pengobatan ulang tersebut sebesar 48%{95%Cl:3I-65J pada infeksi P. falciparum dan 70%[95CI:37-100] pada infeksi P. vivax. Kegagalan pengobatan tidak ditemukan pada infeksi P. malariae atau P. ovale dengan species yang sama setelah dipantau selama 28 hari. Di Papua, terdapat prevalensi resistensi obat yang tinggi untuk malaria P. falciparum dan P. vivax dengan pengobalan yang tersedia (klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin). Klorokuin masih memiliki efikasi yang baik pada P. ovale dan P. malariae. (MedJ Indones 2006; 15:251-8)
Chloroquine resistant malaria is a serious problem in Indonesia particularly in Papua. A trial of the existing antimalarial drugs was conducted in Timika, Papua. The objective of the study wax to determine the efficacy ofcloroquine (CQ) +. sulfadoxine-pyri/nethamine (SP). Patients with uncomplicated malaria due to Plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale or P. malariae were enrolled and treated with supervised CQ+SP (P. falciparum) or CQ (non-P. falciparum). Patients were followed for 28-42 days. Patients failing thernpv were retreated with unstipen'ised quinine+tioxycycline. 207 patients were enrolled in the studv (88 P. falciparum, 40 P. vivax, 15 mixed infections, 50 P. malariae and 14 P. ovale). Early treatment failures occurred in 4 of 86 (5%) patients with falciparum malaria. 6 of 37 (16%) patients with vivax malaria and none of those with P. ovale or P. malariae infection.1,'. The failure rate by day 28 for P. vivax was 22 of 30 (73%) patients, with all recurrences occurring in the presence of plasma chloroquine concentration above the minimum effective concentration (MEC>15ng/ml). After correcting for re infect ions the dav 42 recrudescence rate for falciparum malaria was 48% 195%CI:31-65I and in 61% of cases this was in the presence of chloroquine levels above 30 ng/ml. Retreatment with unsiipervised quinine+tloxycycline resulted in further recurrence of malaria in 48% [95%CI:31-65] of P. falciparum infections and 70% {95%Cl:37-100] of P. vivax infections. None of the patients with P. ovale or P. malariae had treatment failures within 28 da\s. There is a high prevalence of antimalarial drug resistance of P. falciparum and P. vivax to the existing antimalarial drugs. However chloroquine retains adequate efficacy against P. ovale and P. malariae in Papua. (Med J Indones 2006; 15:251-8)