Krisis perbankan yang terjadi di tanah air, disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah lemahnya sistem pengawasan perbankan dari Bank Indonesia terhadap system perbankan nasional, dan faktor eksternal adalah liberalisasi jasa sektor keuangan oleh GATS/WTO. Banyak para sarjana berpendapat bahwa terdapat hubungan dan pengaruh yang kuat antara liberalisasi jasa keuangan (financial service liberalization) dalam kerangka GATS/WTO dengan reformasi perbankan di negara-negara berkembang.
Beberapa sarjana mencoba melihat bahwa negara berkembang dapat meningkatkan pertumbuhan dan simpanan domestik, dan mengurangi ketergantungan terhadap aliran modal luar negeri, melalui liberalisasi keuangan. Beberapa sarjana berpendat lain, mereka berpendapat bahwa liberalisasi keuangan semakin menciptakan krises perbankan bagi negara-negara berkembang dan berpotensi memunculkan bahaya yang lebih besar bagi institusi-institusi negara yang berfungsi mendukung pasar keuangan (financial market).
Para sarjana yang menyambut positif liberalisasi keuangan melakukan penelitian lebih lanjut dan menyatakan bahwa krisis perbankan bukan karena liberalisasi perbankan, namun sistem insitusi perbankan yang lemah yang menggiring suatu negara kepada krisis perbankan, yaitu suatu negara dimana penegakan hukumnya masih lemah, korupsi yang tersebar luas, birokrasi yang tidak efesien dan mekanisme penegakan hukum yang tidak efesien.
Berdasarkan pendapat-pendapat para sarjana tersebut, maka penulis berusaha untuk melihat bahwa lebih jauh upaya-upaya Bank Indonesia untuk menciptakan system perbankan yang kuat dan transparan, melalui pemberdayaan fungsi pengawasan (supervision) di dalam menghadapi liberalisasi jasa sektor keuangan sebagaimana diatur di dalam General Agreemenef on Trade and Services.