Dr. Kay Redfield Jamison, penulis buku ini adalah seorang profesor ahli psikiatri di Fakultas Kedokteran John Hopkins University. Dia juga seorang psikiater, dan telah banyak menangani dan merawat pasien penderita penyakit mania-depresi. Selama menempuh kariernya, dia juga mengalami depresi parah seperti yang diderita pasiennya. Itulah yang dituliskannya dalam buku ini.
Sebelum baca buku ini, saya sempat berasumsi bahwa mungkin si penulis menjadi ‘gila’ karena keseringan mengurusi orang ‘gila’….he..he…
Ternyata, bukan. Mania depresi yang diderita Kay sebenarnya berakar dari persoalan keluarga dan beban pekerjaan. Nggak ada pengaruh dari pasien yang dirawatnya.
Yang menarik adalah, Kay tidak melulu cerita tentang penyakit mania-depresi, tapi juga tentang kisah hidupnya, keluarga dan kehidupan cintanya. Membaca buku ini memberi banyak wawasan tentang kelainan-kelainan jiwa dalam tingkatan tertentu, termasuk obat-obatan yang berkaitan dengan penyakit tersebut, seperti lithium.
Akan lebih lengkap jika sebelumnya Anda juga membaca “Mereka Bilang Aku Gila” sehingga lengkaplah pengetahuan kita mengenai berbagai kegilaan…he..he…
Buku ‘Mereka Bilang Aku Gila’ ini ditulis oleh penderitanya sendiri, Ken Steele. Ken, dihampiri penyakit mental seperti skizofrenia sejak umur 14 tahun, yang membuatnya selalu dalam ketakutan. Ketiadaan dukungan keluarga membuatnya benar-benar gila dan harus terus berurusan dengan rumah sakit dan obat-obatan. Kisah Ken lebih parah dari Kay. Bukan hanya karena dorongan untuk bunuh diri yang sering menyergapnya, tapi juga ‘tudingan’ setiap kali ada musibah atau kematian di sekelilingnya. Selalu Ken lah yang dituding sebagai penyebabnya. Sapa yang menuding? Gak ada. Hanya suara-suara yang terus menganggunya dari masa ke masa.
Walaupun berbeda kasus, ada benang merah yang dapat ditarik dari kedua buku ini.
Pertama, rata-rata penyebab gangguan jiwa adalah kerapuhan mental seseorang dalam menghadapi persoalan di keluarga atau di lingkungannya. Cilakanya, seringkali mental seseorang justru menjadi rapuh karena berbagai persoalan tersebut. Penyakit pun biasanya akan makin parah jika tidak ada penerimaan atau dukungan dari lingkungan.
Kedua, kesembuhan hanya akan diperoleh jika penderita sendiri sungguh-sungguh ingin sembuh. Ada kekuatan yang tak terkalahkan jika seorang penderita penyakit apapun meneguhkan sikap bahwa dia ingin sembuh. Tentu saja harus dibarengi dengan kedisiplinan dalam segala hal, termasuk disiplin memanage emosi.
Ketiga, cinta merupakan obat paling mujarab untuk penyakit apapun, apalagi penyakit ‘kegilaan’...:)
-----------------------------------
Risensi oleh: Kalarensi Naibaho