Setidaknya ada tiga alasan pentingnya studi Gerakan Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru: Prespektif Gerakan Sosial Baru Main Touraine dilakukan. Pertama, etnik Tionghoa merupakan kelompok minoritas non pribumi yang menguasai perekonomian Indonesia tetapi mendapat perlakuan diskriminatif secara politik. Kedua, masih sedikit studi-Etnik Tionghoa pada masa Pasta Orde Baru, terutama yang memfokuskan pada prespektif Gerakan Sosial Baru Alain Touraine. Ketiga, penghapusan diskriminasi rasial telah menjadi isu global, namun di Indonesia, diskriminasi terhadap etnik Tionghoa masih kental.
Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru dengan mengambil lokasi di Jakarta ini bertujuan untuk; Pertama, mengkaji gerakan sosial Etnik Tionghoa dari sisi tujuan dan strategi, nilai dan isu yang diperjuangkan, serta peranan dan relasi antar aktor. Kedua, mengkaji pengaruh kebijakan politik pemerintah terhadap gerakan politik etnik Tionghoa dan sebaliknya. Dalam konteks ini, beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai masalah (problems) penelitian adalah Pertamna, bagaimana varian gerakan sosial etnik Tionghoa yang muncul pada pasta Orde Baru; apa latar belakang kemunculan (dari sisi kesadaran para aktor maupun struktur politik), pilihan corak gerakan, fokus perjuangan, dan strategi gerakan yang dikembangkan . Kedua, apa saja isu-isu yang diberjuangkan oleh gerakan itu. Keiiga, bagaimana relasi aktor gerakan sosial etnik Tionghoa dalam medan konflik bail( dalam konteks relasi antar gerakan sosial lain, relasi dengan negara. maupun komunitas etnik Tionghoa sendiri.
Studi dengan pendekatan etnografi reflektif ini menggunakan, kerangka teori Gerakan Sosial Baru (GSB) dalam prespektif Alain Touraine, yang mendifinisikan gerakan sosial sebagai aksi kolektif yang berupaya memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya penting dan orientasi kultural yang dapat diterima oleh masyarakat. Touraine berpandangan bahwa masyarakat merupakan produk para aktor sosial atau gerakan-gerakan sosial. Namun demikian, Touraine juga menekankan bahwa studi gerakan sosial harus dilihat dalam konteks lapangan tindakan (field of action), yang mengacu pada keterkaitan antara gerakan sosial dan tekanan atau pengaruh (konteks sosial) dimana gerakan itu dibangun. Touraine melihat fenomena gerakan sosial baru dari prespektif yang luas tentang konflik, masyarakat, kebudayaan, sejarah manusia, dan meletakkannya dalam proses aksi kolektif dimana individu dan masyarakat mereproduksi dan mentransformasi diri. Gerakan sosial merefleksikan -krisis kultural dan representasi demokratik masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik politik. Konflik haruslah dimaknai melalui pertaruhan yang bernilai dan dihasratkan serta memiliki sejumlah chi; sekumpulan aktor yang bterorganisir, taruhan nilai yang dihasratkan, dan pergumulan antar pihak yang berkonfllik. Dari pendifinisian konflik, Touraine menyusun hipotesa bersatunya konflik yang melihat adanya keterkaitan antara identitas, aktor, dan totalitas kebudayaan yang mendifinisikan medan konflik.
Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa pasta Orde Baru menemukan bahwa Gerakan Sosiai Etnik Tionghoa pasca Orde Baru muncul bukan saja karena perubahan politik dan peristiwa yang menyentak kemanusiaan (Mai 1998) tetapi juga kesadaran para tokoh dan aktivis Tionghoa untuk melakukan suatu perubahan setelah lebih dari tiga dasawarsa dimarginalkan. Gerakan ini muncul dan menjelma dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ada yang memilih membangun Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), seperti PSMTI dan INTI, ada yang menjelma dalam bentuk Ornop (Organisasi Non Pemerintah), ada pula yang memilih jalur politik praktis dengan mendirikan berbagai partai politik berkarakteristik Tionghoa. Selain itu, muncul pula gerakan melalui media kesenian dan pers. Kemunculan berbagai organisasi ini sekaligus memupus stigma yang lekat selama ini bahwa etnik Tionghoa anti politik, hanya mengejar ekonomi semata, dan tidak nasionalis. Selain bentuknya yang berbeda, strategi gerakan yang ditempuh pun berbeda. Yang menyamakan adalah strategi gerakan yang tidak menggunakan cara-cara pengerahan massa dan aksi kekerasan. Seluruh komponen gerakan memilih strategi penyadaran politik dan advokasi lunak, seperti dialog dengan pemerintah dan anggota legislatif, aksi moral, dan sebagainya.
Gerakan etnik Tionghoa sesungguhnya telah muncul sejak berabad-abad yang lalu (masa kolonial) dalam bentuk resistensi yang terorganisisr dan tetap berlangsung hingga saat ini dengan tema perjuangan anti diskriminasi rasial. Problem yang dihadapi etnik Tionghoa nyaris sama sejak kolonial hingga saat ini, sehingga isu yang diperjuangkan dalam gerakan Tionghoa sesungguhnya isu lama, yakni isu non diskriminasi, stigmatisasi, prasangka. dan marginalisasi, yang menjelma dalam berbagai masalah, dari kewarganegaraan, etnisitas (dipandang bukan sebagai orang Indonesia asli), serta partisipasi dalam ranah politik dan birokrasi. Pada pasca Orde Baru, sekatipun berbagai kebijakan yang diskriminatif telah dicabut dan muncul liberalisasi politik, namun problem yang dihadapi Tionghoa masih cukup besar.
Gerakan etnik Tionghoa pasta Orde Baru tidak terbelah secara tegas berdasarkan orientasi politik sebagaimana terjadi pada masa kolonial dan masa Orde Lanza. Gerakan pada masa Orde Baru hanya berbeda dalam penetapan strategi. Hal ini karena represi Orde Baru yang melarang sekat-sekat ideolog. Visi atau orientase mereka sama yakni menghilangkan aspek diskriminasi di berbagai area serta pluralisme. Yang membedakan adalah strategi gerakan, ada yang memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik, reformasi hukuin, serta pengikisan prasangka rasial. Etnik Tionghoa menunutut diperlakukan sebagai suku tersendiri sehingga integrasi secara wajar dipandang sebagai jalan penyelesaian untuk menghapuskan problem Tionghoa. Seluruh komponen gerakan pasca Orde Baru mempercayai sistem yang demokratis, menghargai Hak Asasi Manusia serta multikulluralislah yang dipercayai mampu menyelesaikan persoalan Tionghoa.
Karena problem yang -dihadapi Tionghoa bukan sekedar berhadapan dengan negara yang memproduksi kebijakan yang diskriminatif tetapi juga pandangan masyarakat (pribuini) yang masih stigmatis, maka relasi yang dibangun oleh gerakan Tionghoa juga melingkupi relasi dengan negara dan relasi dengan masyarakat. Hanya saja, bentuk dan jenis relasi setiap komponenn Gerakan Tionghoa berbeda, mengikuti strategi gerakan dan latarbelakang para aktor dalam gerakan itu. Sekalipun visi sama, namun konsolidasi antar komponen gerakan Tionghoa masih lemah, setiap komponen masih cenderung berjalan secara sendiri dan ketidakpercayaan antar komponen gerakan pun masih tinggi, sehingga daya pressure berhadapan dengan kekuatan negara yang diskriminatif menjadi lemah.
Ada dua implikasi yang muncul melalui studi ini. Pertama, implikasi teoritis. Temuan dalam studi dan pemaknaan atas temuan dalam studi ini dapat menambah pengayaan tentang teori Gerakan Sosial, khususnya Gerakan Sosial Baru dalam prespektif Alain Touraine. Studi ini menemukan penegasan dari prespektif Alain Touraine rnengenai gerakan sosial baru, sekaligus kelemahannya. Sekalipun identitas aktor sangat berpengaruh terhadap corak dan orientasi gerakan, namun posisi aktor atau gerakan sosial ternyata bukanlah unsur daminan dalam membentuk masyarakat melainkan keduanya terkait dalam hubungan yang dialektis transformatoris. Demikian pula, ternyata gerakan sosial juga muncul dalam masyarakat yang tidak demokratis. Konsepsi GSB Alain Touraine terlampau luas, sehingga tidak cukup mendalam dalam menganalisis tentang dekonstruksi yang menjadi ciri khas GSB. Sementara, konsepsi Touraine bahwa gerakan sosial merefleksikan krisis kultural masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik tertegaskan dalam studi ini.
Kedua, implikasi praktis. Menilik berbagai proses konsolidasi demokrasi yang masih stagnan, maka etnik Tionghoa kemungkinan akan berada dalam posisi yang sulit. Oleh karenanya, problem yang dihadapi etnik Tionghoa pun hanya dapat diselesaikan bila konsolidasi demokrasi terbangun. Untuk itu, ada beberapa agenda yang penting untuk diperhatikan bagi penyelesaian problematika Tionghoa. Pertama, Melakukan reforrnasi hukum terhadap perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif, dengan cara melakukan amandemen Pasal 26 UUD 1945 tentang kewarganegaraan, pencabutan Indische Staatsvregeling Tahun 1925, pembubaran BKMC, perumusan dan pensahan UU Kewarganegaraan yang yang tidak diskriminatif, serta UU Anti Diskriminasi Rasial. Kedua, Penguatan multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Pendidikan multikulturalisme dan Hak Asasi Manusia kepada seluruh komponen masyarakat merupakan agenda yang sangat urgen untuk dilaksanakan. Ketiga, penyadaran kritis komunitas 'Tionghoa. Penyadaran kritis terhadap warga Tionghoa, terutaina level grassroot sangat penting karena kelompok inilah yang paling rentan menjadi korban pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk tindakan diskriminatif dan kekerasan. Keempat penguatan jaringan gerakan Tionghoa dengan komponen lain. Konsolidasi antar kekuatan gerakan sosial sangat signifikan dalam advokasi, penguatan civil society, dan pertimbangan tatanan masyarakat yang demokratis. Penguatan jaringan konsolidasi perlu dibangun di level nasional dan internasional.