Penelitian dengan judul Desentralisasi Bidang Pariwisata Di Daerah : Studi Kasus Peletakan Kewenangan Pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan Di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dilatarbelakangi oleh keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pernerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa Propinsi sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Selain itu termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan kewenangan Daerah Kabupaten/Kota mencakup semua kewenangan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan yang diatur dalam pasal 9.
Pariwisata sebagai salah satu sub sektor yang penting peranannya bagi perekonomian nasional maupun daerah, ofeh Pemerintah Propinsi DIY maupun Pemerintah Kabupaten Sleman ditetakkan sebagai sektor unggulan daerah yang diharapkan dapat menjadi penggerak perekonomian daerah setempat. Candi Prambanan yang merupakan obyek wisata penting bagi sektor pariwisata di DIY dimana pengelolaannya saat ini dilakukan oleh suatu BUMN, telah diperebutkan kewenangan pengelolaannya baik oleh Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman maupun antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kabupaten Klaten. Hal ini disebabkan karena lokasi obyek wisata tersebut terletak antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten yang merupakan perbatasan Propinsi Sawa Tengan dengan Propinsi DIY. Belum adanya peraturan yang mengatur tentang kewenangan pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan (TWCP) di era desentralisasi saat ini, mengakibatkan terjadinya konflik perebutan kewenangan antara Pemerintah Propinsi DIY dengan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Dari latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pada tingkat pemerintahan manakah pengelolaan Taman Wisata Candi Prambanan sebaiknya diletakkan serta model pengelolaan bagaimanakan yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi dari pemerintah daerah pada saat ini? Permasalahan tersebut penulis coba selesaikan dengan pendekatan model desentralisasi fiscal dari Anwar Shah (1994), bahwa untuk menentukan letak suatu kewenangan dapat diukur dengan kriteria-kriteria desentralisasi yaitu : a. economies of scale, b. economies of scope, c. benefit-cost spinout, d. consumer sovereignty, e. political proximity dan d. economic evaluation of sectoral choice.
Sedangkan untuk menentukan model pengelolaan terbaik yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi dari pemerintah daerah, penulis mengajukan 3 alternatif model pengelolaan yaitu 1. Pengelolaan TWCP secara mandiri oleh pemerintah daerah setempat, 2. Pengelolaan TWCP secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah melalui kepemilikan saham, 3. Pengelolaan TWCP oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat bagi basil (statusquo). Sesuai dengan pendapat World Bank (1998) bahwa untuk meletakan suatu kewenangan hams dilihat juga kemampuan kelembagaannya yang terdiri dari kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan, maka masing-masing tingkat pemerintahan dilihat juga ampek kelembagaanya, sesuai dengan tuntutan persyaratan model yang ditawarkan. Tuntutan persyaratan model 1 antara lain adalah tercapainya skala ekonomi dan terpenuhinya kualitas sumber daya manusia, Model 2 menuntut kemampuan keuangan dari pemerintah daerah untuk membeli saham yang ditawarkan. Sedangkan model 3 tidak menuntut persayaratan tertentu.
Setelah dilakukan penelitian di lapangan dengan menyebarkan kuessioner kepada responden (expert) dan wawancara mendalam maka tingkat pemerintahan yang paling tepat untuk mengelola TWCP adalah Pemerintah Pusat. Hal ini terutama disebabkan karena Masan economic evaluation of sectored choice, yaitu bahwa TWCP peranannya sangat penting bagi perekonomian nasional, regional maupun lokal, sehingga perlu dikelola oleh pemerintah pusat. Ada faktor non ekonomi yang juga sangat menentukan bahwa pemerintah pusat harus mengelola TWCP, yaitu bahwa Candi Prambanan merupakan salah satu world heritage yang ada di Indonesia, dimana pengelolaannya diawasi oleh UNESCO. Karena itu ada kekhawatiran jika kewenangan pengelolaan TWCP diserahkan sepenuhnya kepada pemda setempat akan terjadi eksploitasi terhadap obyek wisata tersebut demi untuk peningkatan PAD, yang pada akhirnya akan merusak keutuhan dan keaslian Candi Prambanan.
Selanjutnya setelah dilakukan analisa terhadap laporan keuangan, maka model pengelolaan terbaik yang dapat menjawab tuntutan desentralisasi adalah model pengelolaan secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah meialui kepemilikan saham. Hanya saja yang menjadi kendala untuk saat ini adalah bahwa pemerintah daerah setempat (Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman) belum mampu untuk membeli sejumlah saham yang ditawarkan. Sedangkan model pengelolaan yang ditempuh oleh pemerintah pusat saat ini yaitu bagi hasil, di mana kewenangan pengelolaan ada di pemerintah pusat dan pemerintah Kabupaten Sleman bersama-sama Pemerintah Kabupaten Klaten mendapatkan bagi hasil sebesar 5,65% dan 4,35% dari retribusi obyek wisata Prambanan belum memuaskan semua pihak. Pemerintah Propinsi DIY dan Pemerintah Propinsi Sawa Tengah sebagai pihak yang mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan suaka peninggalan sejarah dan purbakala Candi Prambanan serta promosi wisata belum mendapatkan kontribusi keuangan dari retribusi obyek wisata tersebut. Oleh karena itu penulis sarankan agar perlu adanya kontribusi keuangan dari retribusi obyek wisata TWCP terhadap pemerintah propinsi setempat, mengingat kemampuan keuangan pemerintah propinsi saat ini sangat kecil.