Analisis pada studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai sistem hirarki keputusan pada kemitraan antara badan usaha milik negara (BUMN Perseroan), swasta besar, swasta kecil, dan koperasi dalam bisnis ketenagalistrikan di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan terhadap studi kasus menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA).
Kemitraan antar badan usaha merupakan suatu kebutuhan. Keberadaan mitra bisnis merupakan bagian penting dari strategi perusahaan, terutama penekanan pada efisiensi (pengurangan biaya), di samping untuk perluasan usaha, mengurangi persaingan, dan kelangsungan usaha. Kemitraan antar badan usaha akan berkesinambungan apabila mempertimbangkan kebutuhan Industrial secara vertikal atau horizontal pada alur bisnis perusahaan. Karakteristik organisasi, faktor dan tujuan kemitraan yang berbeda dari masing-masing badan usaha merupakan penentu dalam pemilihan pola kemitraan.
Bisnis ketenagalistrikan di Indonesia dipacu untuk meningkatkan efisiensi. Kemampuan PT. PLN dalam mengusahakan standardisasi peralatan kelistrikan, prosedur dan teknis pelayanan dengan didukung pembangunan pembangkitan-pembangkitan listrik yang baru yang lebih efisien, meningkatkan jaring transmisi interkoneksi, dan distribusi sampai ke pelosok pedesaan (listrik pedesaan). Untuk mengurangi biaya PT. PLN melakukan kemitraan dengan berbagai pihak; pembangkitan swasta (independent power producer,IPP), industri peralatan kelistrikan, dan usaha-usaha pendukung dalam konstruksi dan instalasi.
Kasus kemitraan PT. PLN dan PT. Terang Kita mencerminkan suatu kebutuhan industri secara vertikal. PT. Terang Kita sebagai produsen kabel listrik dengan mutu produk standar (SPLN, Si!, dan ISO 9000) membutuhkan kepastian pasar (pemasokan kabel listrik, 0.4367) sehingga kelangsungan usaha (0.4327), efisiensi usaha (0.2395) dan standardisasi (0.2395) dapat dicapai. Di pihak lain, PT. PLN membutuhkan kabel listrik untuk pembangkitan, transmisi, dan distribusi yang memenuhi persyaratan mutu dan teknis (SPLN), tepat waktu (just in time), dan harga yang memadai sehingga efisiensi (0.5013) dan standarisasi (0.2903) merupakan tujuan utama. Untuk dapat memelihara mekanisme di atas, alternatif pola subsidiary, sub kontrak industri, atau joint venture dapat meningkatkan efisiensi dalam pengadaan kabel listrik.
Kasus kemitraan PT. PLN (Cabang Bogor) dengan Fa. Pancar Teknik (instalatir) dan Koperasi Warga AKLI "Kilat" Bogor mencerminkan kebutuhan industri secara horizontal. Energi listrik yang dimiliki oleh PT. PLN cukup tersedia, akan tetapi PT. PLN mempunyai keterbatasan untuk dapat memenuhi permintaan penyambungan dan instalasi listrik yang semakin besar dan menyebar. Sementara Fa. Pancar Teknik sebagai kontraktor listrik (instalatir) dan Koperasi Warga AKLI "Kilat" yang menyediakan sebagian kebutuhan material khususnya untuk sambungan rumah (SR) dan instalasi rumah (IR). Melalui kemitraan, ketiga badan usaha tersebut dapat berusaha untuk melayani kebutuhan listrik bagi konsumen secara bersamaan. Faktor distribusi energi listrik merupakan faktor utama (0.4367) terjadinya kemitraan, faktor ini pula besar pengaruhnya terhadap penentuan tujuan dan pola kemitraan yang terjadi antara PT. PLN (Cabang Bogor) dengan Fa. Pancar Teknik dan Koperasi Warga AKLI "Kilat" Bogor.
Fa. Pancar Teknik dan Koperasi Warga AKLI "Kilat" memiliki hambatan, terutama dalam permodalan usaha, keahlian, dan kapasitas teknis. Bagi kedua badan usaha tersebut kemitraan dalam pemasangan instalasi listrik bertujuan untuk menjaga kelangsungan usaha (tujuan utama), sementara bagi PT. PLN bertujuan untuk meningkatkan efisiensi (0.3597) dan pembakuan prosedur dan teknis instalasi (0.3239). Di samping itu PT. PLN juga mengemban misi pembangunan untuk melakukan pemerataan kesempatan berusaha (0.3403) dan pembinaan usaha kecil (0.2029). Alternatif pola kemitraan yang dapat diterapkan adalah dengan pola sub kontrak industri, subsidiary, joint operational, Bapak-Anak Angkat, atau dengan pola penyertaan modal.