Pemilihan Umum yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia untuk menyusun lembaga-lembaga permusyawaratanlperwakilan rakyat yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Presiden dan Wakil Presiden perlu diselenggarakan berdasarkan demokrasi pancasila, yang pelaksanaanya dilakukan dengan jujur dan adil. Tetapi, tak satupun yang dapat menjamin seluruh manusia selalu bertindak jujur dan adil dalam segala aspek kehidupannya begitu pula partai politik dalam rangka pelaksanaan pemilu.
Perkembangan tindak pidana pemilu di Indonesia dalam Pemilu 2004 i.ni terjadi sangat cepat dan sangat banyak karena sifatnya yang serentak dan menjangkau seluruh wilayah pemilihan di Indonesia yang mempunyai potensi terjadinya kejahatan dan pelanggaran pemilu. Mengingat pentingnya pemilu bagi sebuah negara demokrasi, maka adalah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kebersihan, kejujuran dan keadilan pelaksanaan pemilu akan mencerminkan kualitas demokrasi di negara yang bersangkutan. Hal lain ditandai juga dengan upaya keras oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), kepolisian dan kejaksaan melalui peraturan-peraturan yang ada untuk terus mengawasi dan memantau jalannya pemilu.
Oleh karena itu tindak pidana pemilu yang dilakukan orang-perorangan dan partai politik sebagai subyek tindak pidana Pemilu perlu mendapatkan perhatian yang besar. Fungsi dari Undang-undang Pemilu adalah merupakan sarana untuk mencegah tindakan-tindakan yang tidak demokratis terhadap pelaksanaan pemilu yang dalam ketentuannya banyak mengatur hal - hal yang pokok saja, maka sebelum ada peraturan pelaksananya sudah barang tentu dalam penerapannya akan menghadapi hambatan.
Dalam kasus tindak pidana pemilu terdapat kesulitan bagi aparat penegak hukum, seperti untuk menentukan siapa yang menjadi subyek tindak pidana pemilu. Di samping itu, penerapan hukum pada tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh partai politik merupakan kendala tersendiri. Tindak pidana pemilu sering terjadi secara bersama-sama, baik itu melibatkan orang perorangan, pengurus serta partai politiknya sendiri, sehingga sulit untuk menentukan siapa saja yang bertanggungjawab.
Selain menyediakan alat bukti, aparat penegak hukum juga harus cermat dalam menentukan tersangkanya yang ternyata sulit untuk menempatkan apakah orang perorangan, pengurus atau partai politik sebagai tersangka. Pada tingkat penuntutan kesulitan yang dihadapi oleh Penuntut Umum sebagai pihak yang membawa perkara tersebut di muka pengadilan adalah memenuhi persyaratan formil dan materiil KUHAP khususnya Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Apabila ketentuan pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP tersebut tidak dipenuhi maka pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa surat dakwaan tersebut batal demi hukum. Dihubungkan dengan partai politik sebagai pelaku tindak pidana pemilu, jaksa harus mempertahankan hasil penyidikan yang disertai dengan bukti-bukti kuat yang nantinya bisa membawa pada putusan final hakim yang menyatakan partai politiklah yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang terjadi.
Dalam penelitian ini penulis juga berusaha untuk mengungkapkan hambatan dan kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh orang-perorangan, pengurus partai politik dan partai politik serta untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum dalam kasus tindak pidana pemilu khususnya ditinjau dari segi pertanggunjawaban pidana. Pada akhir penelitian, penulis mampu untuk menemukan permasalahan-permasalahan pokok yang menjadi penghambat dalam penuntutan tindak pidana pemilu serta bagaimana penerapan hukum dalam kasus tindak pidana pemilu di Indonesia.