ABSTRAKHubungan antar kelompok etnik ini kemudian berkembang ke arah pembentukan satu kebudayaan campuran - artinya seluruh anggota masyarakat dari berbagai kelompok etnik meleburkan kebudayaan lamanya dan membentuk satu kebudayaan baru, kebudayaan 'Amerika'. Masyarakat Amerika dengan kebudayaan campuran dari berbagai kelompok etnik ini disebut the Melting Pot (pola kedua). Bentuk pembauran ini bisa terjadi di kota-kota besar (Gordon, 1964: 115-121). Pada kenyataannya, penyebaran penduduk di negara ini, termasuk para imigran yang berdiam di daerah barunya yang luas dan asing ini, dipengaruhi oleh usaha mereka untuk hidup bersama dengan orang yang mempunyai kesamaan, misalnya dalam hal agama (Protestan, Katolik, Yahudi), tanah asal (racial groups), dan sebagainya. Dengan demikian terjadilah kelompok-kelompok atau 'pots' yang tersebar di seluruh negara. Gordon menyebut masyarakat demikian sebagai "a multiple melting pot". Dari sini timbul masyarakat pluralistik (Gordon, 1964: 130-131).
Sehubungan dengan itu maka pembauran kelompok-kelompok etnik minoritas dengan mayoritas dalam kenyataannya tidak dapat seperti yang diharapkan dalam pola Anglo-con formity mengikuti kebudayaan Anglo-Saxon, mau pun the Melting pot karena tidak melebur dalam satu kebudayaan baru. Tiap kelompok etnik berusaha menyesuaikan diri dengan masyarakat yang telah mapan di sana tetapi mereka juga masih mempertahankan nilai, tradisi dan kebiasaan mereka yang tertentu. Dengan begitu tiap kelompok etnik ini tetap memiliki beberapa ciri khas mereka.. Maka dari itu masyarakat Amerika ini dapat dikatakan berpola Cultural pluralism.