Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang hidup di dalam suatu masyarakat, hukum adat memiliki karakteristik tersendiri, setiap ada pelanggaran adat, maka pemulihannya bertujuan untuk menciptakan keharmonisan kembali lingkungan yang telah tercemar karena pelanggaran adat tersebut. Salah satu daerah yang masih memberlakukan hukum adat adalah Bali, ada beberapa kasus dengan nuansa adat di sidang bukan dengan cara persidangan adat. Hal ini membuat aparat penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam menerapkan hukum yang dikenakan terhadap terdakwa.
Pada dasarnya pemberlakuan hukum adat masih berdasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (LN. Tahun 1951 Nomor 9, TLN. Nomor 81). Namun kedepan dalam rangka Pembaharuan hukum pidana Nasional (khususnya dalam pembaharuan hukum pidana materiil) pada Rancangan KUHP telah dimasukkan pengakuan tentang berlakunya hukum adat, yaitu mengenai masalah pemenuhan sanksi pidana adat.
Aparat penegak hukum setuju akan adanya sanksi pemenuhan kewajiban, dengan alasan dengan dilakukannya sanksi adat, maka keharmonisan antara masyarakat telah dapat terpenuhi. Lembaga yang menangani masalah hukum adat adalah sangkepan atau musyawarah adat, sedangkan aparat penegak hukum yang menjalankan kewajibannya dalam suatu Sistem peradilan pidana nasional baru berjalan setelah sangkepan adat dilaksanakan, dan Para pihak menghendaki adanya ketetapan melalui pengadilan negeri. Namun hal ini hanya berlaku untuk masalah yang menyangkut hak individual.