Penyusutan luas lahan hutan bakau di Angke Kapuk dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Tahun 1960 luas hutan Angke Kapuk 1.333.62 ha tahun 1977 tinggal 1.144.08 ha dan menurut data dari Rencana induk Pengembangan Pantai Indah Kapuk tahun 1984, luas hutan Angke Kapuk tinggal 162.07 ha yang terdiri dari hutan Lindung 49.25 ha Cagar Alam 21.48 ha dan hutan Wisata 91.37 ha. Hutan bakau yang terdapat di Angke Kapuk adalah salah satu daerah penyangga (Buffer Zone) yang panting bagi Jakarta. Dari sejak zaman Belanda, kawasan hutan Angke Kapuk telah dilindungi dan dijaganya. Tetapi akibat wilayah tersebut semakin menyusut luasnya karena ada pembangunan pemukiman, industri, tambak-tambak dan lain-lain. Pembangunan tambak atau yang sering disebut hutan mina adalah salah satu aspek penting yang berpengaruh mengurangi luas lahan hutan bakau. Hal ini cukup dilematis karena konservasi hutan bakau dan pembangunan tambak untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah bagaikan dua sisi mata uang. Apalagi dengan dibangunnya daerah pemukiman mewah, seperti Pantai lndah Kapuk yang sangat membutuhkan nfrastruktur yang lengkap dan lahan yang cukup luas, yang jelas mengakibatkan degradasi lingkungan yang cukup tajam. Pengelolaan lingkungan yang komprehensif untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin parah di hutan Angke Kapuk menjadi sebuah problem yang kompleks. Opsi atau alternatif terbaik untuk melakukan pilihan pengelolaan (management option) lingkungan adalah merupakan kebutuhan yang mendesak. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2000 sampai dengan Januari 2001 dengan lokasi hutan Angke Kapuk dan sekitarnya. Pilihan pengelolaan (management-option) yang diambil pada studi ini adalah konservasi hutan bakau dan hutan mina. Dua pola pilihan pengelolaan tersebut menjadi dasar bagi studi ini. Dua pola pengelolaan pilihan tersebut dihitung dengan menggunakan metode analisis biaya dan Manfaat yang diperluas (Extended Cost-Benefit Analysis.) Masing-masing pola pengelolaan dideskripsikan secara detail baik dari segi biaya maupun segi manfaatnya yang komponennya memiliki asumsiasumsi sendiri sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Sebagai contoh untuk estimasi biaya dan manfaat dari pilihan pengelolaan hutan mina terdiri dari komponen manfaatraa berupa; hutan mina, cadangan tegakan hutan, perikanan, satwaliar biodiversiti, fisik dan eksistensi, kemudian kompormon biayanya berupa; investasi, hutan mina, cadangan tegakan hutan, perikanan, satwaliar dan eksternalitas. Untuk estimasi biaya dan manfaat pengelolaan hutan bakau yang berkelanjutan, komponen manfaatnya adalah cadangan tegakan hutan, perikanan, satwa liar, biodiversiti, nilai fisik dan nilai eksistensi, kemudian komponen biayanya berupa; investasi; cadangan tegakan hutan, perikanan dan satwa liar. Dari tiap komponen pilihan pengelolaan yang ada dihiktung Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost (BC) rasionya sehingga didapat hasilnya. Kemudian hasilnya dibandingkan untuk dilihat pengelolaan mana yang paling menguntungkan. Hasil penghitungan yang didapat dari studi ini adalah bahwa pilihan pengelolaan hutan bakau adalah yang paling menguntungkan, di mana didapat harga NPV sebesar 5.120, 9271 US $/ha dengan B-C ratio= 7.7893. Sedangkan yang kedua adalah hutan mina (Udang) NPV= 4.890,7039 US$/ha dengan B-C ratio=1.9746. yang ketiga adalah hutan mina (ikan Bandeng dan Udang) dengan NPV= 1.668,8734 US$/ha dengan B-C ration = 1.3850 dan yang keempat atau yang terakhir adalah ikan bandeng yaitu NPV= 1.514,0099 US $/ha dengan B-C ratio= 1.3646... Sehingga dapat disimpulkan bahwa hutan bakau juga memiliki potensi ekonomi lingkungan yang cukup tinggi, baik manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.
The area lost in Angke Kapuk every year is a major concern. In 1960 Angke Kapuk was 1,33362 hectares while in 1977 it has decreased to 1,144.08 hectares. According to data from Planning and Development at "Pantai Indah Kapuk" Jakarta , in 1984 only 162.07 hectares of he area was lost, consisting of 49.25 hectares protected forest, 21.45 hectares nature reserves and 91.37 hectares tourist-designated forest. Comprehensive environmental management to anticipate environmental degradation that gets worsened everyday in Angke Kapuk forest has become a complex problem. Choosing the best alternative for management option has become an urgent need. Management options adopted for this study was mangrove and Mina forest conservation. These two management options were the base for this study. The research was undertaken from May 2000 to January 2001 in Angke Kapuk forest area. The mangrove forest in Angke Kapuk is one of the important buffer zones of Jakarta. It has been protected right since colonial time. The area has been continuously decreasing in width, however, due to development of housing, industry, fish and shrimp ponds, etc. The development of ponds, or mina forest as it is commonly called, is one of the important factors influencing the decrease in -mangrove forest areas. This is actually dilemma as both mangrove forest conservation and ponds development as a means to fulfill living needs of the community are like two sides of a coin. The environmental degradation has been worsened by the development of luxury housing complex like the Pantai Indah Kapuk, which need complete infrastructure, and hectares of land. One way to solve the problem is by meticulously evaluating the holistic taken are a sustainable mangrove forest conservation and mina forest. This choice of two management patterns is the basis of this study. The two patterns are calculated by using the cast and benefit, analysis method. Each pattern of management is described in detail, both in terms of cost and benefit, the components of which -have their own assumptions in accordance with the existing objective condition. As an example, take the estimates of cost and benefit of mina fort management. Its benefit component would be: the mina forests, forest stand reserve, fishery, wild animal, biodiversity, and physical and existence values. Its cost component would be: investment, mina forests, forest stand reserve, fishery, wild animal and externality. For the mangrove forest management, its benefit component would be: forest stand reserve, fishery, wild animal, biodiversity, and physical and existence values. And its cost component would be: investment, forest stand reserve, fishery and wild animal. From each component of the management choice, the ratio of the Net Present Value (NPV) and the Benefit-Cost (B-C) is calculated. The results of the calculation are to be compared in order to see which is the most profitable. The result of calculation from this study is that the choice of a sustainable Mangrove forest management is the most profitable, in which the NPV is US $ 5,120.9271 per hectare with B-C ratio = 7.7893, whereas the NPV of the Mina forest with Shrimp management: US$ 4,890.7039 per hectare with B-C ratio = 1.9745, Milkfish: US$ 1,514.0099-per hectare with B-C ratio = 1.3646 and Shrimp &Milkfish: US$ 1,668.8734 per hectare with-BC ratio = 1.3850. It is therefore concluded that mangrove forests has a considerably high economic potential, in terms of direct, indirect, chosen as well as existence benefit. For in order to invest in a project, we need not only to calculate its economic and technical -benefits but also its long term benefit which takes into account the environmental interests and needs of the future generation.