Tunanetra merupakan bentuk cacat yang khas, di mans individu kehilangan Jaya sensorinya berupa daya penglihatan. Bentuk cacat ini juga merupakan cacat yang paling ditakuti oleh orang lain, bahkan oleh penyandang cacat sekalipun (Vash, 1981). Hal ini dikarenakan manusia cenderung mengandalkan daya penglihatannya dalam kehidupan sehari-hari. Penyandang tunanetra umumnya mengalami konsep diri yang rendah, karena mereka merasa diri mereka lebih inferior dibanding orang lain. Akibatnya mereka dapat memiliki konsep diri yang lebih rendah, malu karena menganggap dirinya tidak dapat diterima oleh lingkungan dan tidak memiliki anti di hadapan orang lain (Wright, 1960).
Kecemasan sosial (social anxiety) merupakan suatu bentuk rasa cemas yang diarahkan pada lingkungan sosialnya. Individu khawatir dirinya akan mendapat penilaian negatif dari orang lain, khawatir tidak mampu mendapat persetujuan dari orang lain serta takut melakukan perilaku yang memalukan di muka umum. Menurut Wakefield, Horwitz & Schmitz (2005), kecemasan sosial umum terjadi pada tiap orang, namun intensitasnya dapat berbeda-beda. Aspek-aspek dari kecemasan sosial adalah aspek kognitif, berupa penilaian dan ekspektasi bahwa individu akan dinilai negatif, aspek afektif, berupa ketakutan dan rasa cemas saat berhadapan dalam situasi sosial, dan aspek perilaku, yaitu adanya perilaku aman.
Wells & Clark (dalam Davey, 1997) menyatakan bahwa kecemasan sosial dipengaruhi oleh konsep diri individu. Sementara, pada penyandnag tunanetra konsep din yang mereka alami dipengaruhi oleh penghayatan mereka terhadap cacat yang mereka alami (Vash, 1981).
Karena adanya perbedaan secara fisik, penyandang tunanetra tidak dapat menangkap visual cues berupa gerakan tubuh, ekspresi wajah dan sikap dari orang lain, serta hams mengandalkan indera lainnya untuk mempersepsikan lingkungan sosial mereka. Sebagai akibatnya, mereka dapat memiliki kecemasan sosial yang berbeda dari orang `awas' dalam menghadapi lingkungan sosial mereka.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika kecemasan sosial yang terjadi pada penyandang tunanetra. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif, dengan metode in-depth interview. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, dengan karakteristik laki-laki dewasa muda yang telah mengalami buta total setidaknya selama 3 tahun.
Hasil utama yang diperoleh dalam penelitian menunjukkan bahwa pada awal mengalami kebutaan, semua subyek mengalami kecemasan sosial yang tinggi dan menghindar dari interaksi sosial. Dalam dinamikanya, terlihat bahwa semua subyek merasa tidak puas dengan diri mereka sendiri dan hendak mengembangkan diri. Mereka kemudian mencari sarana untuk membantu mereka hingga akhimya mampu melakukan interaksi sosial kembali. Tiap subyek memiliki aspek personal yang berbeda-beda, yaitu spiritualitas yang tinggi, minat sosial yang tinggi serta keinginan untuk kembali aktif. Tiap subyek juga berhasil mengatasi kecemasan sosial mereka dengan mengembangkan pikiran positif, dan adanya pemikiran bahwa mereka hams melakukan interaksi sosial dengan orang lain.