PIA Ardhya Garini adalah organisasi istri Angkatan Udara yang lahir di Bandung tanggal 25 November 1956, merupakan organisasi di bawah pembinaan TNI Angkatan Udara dan berinduk pada organisasi Dharma Pertiwi. Pada struktur organsiasi TNI Angkatan Udara, kedudukan PIA Ardhya Garini merupakan kedudukan non-struktural, artinya PIA Ardhya Garini tidak memiliki garis komando di dalam kedinasan TNI Angkatan Udara, organisasi PIA Ardhya Garini hanya mendukung tugas pokok TNI Angkatan Udara dalam meningkatkan kesejahteraan anggota TNI Angkatan Udara dan keluarganya.
Anggota PIA Ardhya Garini saat ini berjumlah ± 25000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia, berdomisili di pangkalan-pangkalan udara tipe A, B, C, D dan sekitarnya. Istri perwira berjumlah 5382 (Penyebaran anggota PIA Ardhya Garini terdapat pada lampiran 1).
Seorang wanita yang menikah dengan anggota TNI Angkatan Udara secara otomatis akan menjadi anggota PIA Ardhya Garini. Artinya apabila ia mempunyai profesi atau keahlian tertentu ia akan menyandang peran tambahan, selain sebagai istri dari seorang suami yang TNI Angkatan Udara, ia juga mempunyai peran tambahan lain sebagai anggota organisasi PIA Ardhya Garini dan peran anggota masyarakat dengan profesi tertentu. Apabila ia mernpunyai anak maka tambahan peran lainnya adalah seorang ibu, mengurus suami, anggota organisasi PIA Ardhya Garini, anggota masyarakat dan mempunyai profesi tertentu, dan seterusnya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah tertangkap keluhan :
- Anggota PIA mengalami konflik internal tentang peran ganda dalam kapasitas sebagai isteri prajurit. Di satu sisi sebagai istri yang dinikahi oleh prajurut TNI-AU secara otomatis terikat dengan "kebiasaan" dalam organisasi TNI-AU sebagai anggota dari isteri prajurit (PIA). Di sisi lain sebagai seorang istri, tambahan peran yang merupakan konsekuensi dari tambahan status baru sebagai seorang wanita mungkin kurang dihayati dan ditangkap sebagai hal yang positif, sehingga yang bersangkutan merasakannya "kebingungan" untuk mengelola peran yang menimbulkan konflik internal.
- Seorang prajurit, terutama perwira TNI-AU yang menetapkan untuk berkeluarga, memperoleh wanita pendamping dalam perjalanan hidup dan karir di TNI-AU, mungkin kurang mampu membayangkan konsekuensi-konsekuensi yang akan dialami pasangannya sejak mereka terikat dalam status perkawinan. Mereka (suami) lebih mengenal dengan baik peran yang akan diembang pasangannya sebagai isteri dalam tata cara kebiasaan budaya yang ada di Indonesia (isteri dikenal sebagai ?kanca wingking?). Dengan konsep yang demikian dapat dimengerti bila anggota TNI-AU bersikap kurang supportif terhadap peran istri dalam organisasi isteri prajurit, khususnya sebagai pengurus. Sikap yang kurang supportif kemungkinan menggambarkan terjadinya disonansi kognitif (pembenturan kognitif) pada perwira yang pada gilirannya memperkuat gejala di butir pertama tentang : terdapat kerancuan tentang peran ganda isteri (sebagai istri dari pasangan dan sebagai istri perwira yang otomatis menjadi anggota PIA).