Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Agar interaksi berjalan dengan lancar dibutuhkan sikap saling memahami antara kedua belah pihak. Ketika individu memahami diri sendirilorang lain, mereka melakukan evaluasi/penilaian, yang merupakan bagian dari proses berpikir. Mereka membuat kesimpulan atau melakukan penalaran tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, niat, dan lain-lain, balk yang ada pada diri mereka sendiri maupun yang dialami oleh orang lain yang sedang berinteraksi dengan mereka. Sehingga interaksi dapat terjadi secara bermakna dan tujuan dari interaksi yang dilakukan dapat tercapai. Kemampuan dalam membuat kesimpulanlmelakukan penalaran tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, diinginkan, that, keyakinan, dan lain-lain, dikenal dengan istilah kemampuan mind-reading.
Kemampuan mind-reading tumbuh secara spontan dan alamiah pada masa kanak-kanak. Lain halnya dengan anak yang memiliki gangguan autis. Anak autis dikatakan mengalami mindblindness. Mindblindness adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan penalaran mental stales, yaitu pemikiran, keyakinan, keinginan, niat, dan lain-lain, baik itu pada diri sendiri maupun orang lain (Baron - Cohen, Hadwin, & Howlin, 1999). Hal ini menyebabkan anak autis cenderung tidak sensitiflkurang empati pada perasaan orang lain, tidak mampu mernbayangkan apa yang diketahuildipikirkan oleh orang lain, tidak mampu memahami intensi orang lain, sulit memprediksi tingkah laku orang lain, dan lain-lain.
Ketidakmampuan anak autis dalam penalaran mental-states dapat dibantu dengan pelatihan mind-reading. Pelatihan yang dikembangkan oleh Howlin, Baron-Cohen dan Howlin (1999), terbagi atas tiga komponen. Komponen tersebut adalah pemahaman tentang informational states, pemahaman emosi dan pemahaman pura-pura (pretence). Peneliti memfokuskan pelatihan pada satu komponen saja yaitu pelatihan memahami emosi.
Anak autis mengalami kesulitan untuk memahami emosi orang lain maupun emosi din sendiri. Mereka juga memiliki keterbatasan dalam berbagi perasaan dengan orang lain. Keterbatasan dalam mengungkapkan dan memahami emosi seringkali menyebabkan anak autis mengalami kesulitan mengendalikan ekspresi emosi negatif yang sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga dapat berakibat buruk untuk anak itu sendiri dan orang di sekitamya. Selain itu respon emosi yang anak autis tampilkan seringkali tidak sesuai dengan situasi yang ada (Mash & Wolfe, 1999; Jordan & Powell, 1995).
Peneliti tertarik memfokuskan pelatihan pada pemahaman emosi karena dirasakan masaial-i emosi rnerupakan salah satu hal yang cukup signifikan dalam menghambat interaksi sosial anak autis. Diharapkan pelatihan ini dapat membantu mereka untuk lebih memahami emosi dirt sendiri maupun orang lain, dan dapat mengekspresikan emosi secara lebih tepat mendekati apa yang diharapkan oleh lingkungan.
Hasil pelatihan adalah subyek memahami perbedaan ekspresi wajah orang yang sedang mengalami emosi senang, sedih, marah dan takut, baik itu dalam bentuk foto maupun dalarn bentuk gambar skematik. la juga cukup memahami situasi-situasi yang dapat menimbulkan emosi senang, sedih, marah dan takut. Hanya saja is agak sulit membedakan antara emosi sedih dan takut. Subyek memahami jika keinginan seseorang terpenuhi maka ia akan merasa senang, begitu pula sebaliknya, jika keinginan seseorang tidak terpenuhi, maka ia akan sedih. Hanya saja jika keinginan tidak terpenuhi narnun dihadapkan oleh obyek pengganti yang juga menarik minatnya, maka subyek ragu dalam menjawab sehingga hares diingatkan lagi apa yang sebenamya ia inginkan. Subyek mengalami kesulitan untuk memisahkan antara keinginannya dengan keinginan tokoh dalam gambar. Subyek cukup memahami bahwa emosi dapat disebabkan oleh apa yang seseorang pikirkan, walaupun apa yang ia pikirkan berlawanan dengan realitas.