Keberadaan teknologi informasi (TI) disamping memberi harapan di masa depan, juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru dengan munculnya bentuk kejahatan baru (cyber crime) yang lebih canggih. Carding merupakan kejahatan baru dengan cara mencuri dan menipu suatu website e-commerce untuk mendapatkan produk yang ditawarkan. Berbagai cara dilakukan carder untuk mendapatkan kartu kredit milik orang lain, antara lain dengan membobol kartu kredit dari situs komersial. Kejahatan carding banyak menimpa warga asing, terutama di Yogyakarta dan di Bandung. Pada umumnya sarana yang digunakan kejahatan penggunaan kartu kredit secara tanpa hak adalah warung internet (Warnet).
Meskipun dalam perundangan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai kejahatan komputer, namun pelaku kejahatan carding dapat dipidana dengan menggunakan pasal-pasal dalam perundangan nasional melalui penafsiran ekstensif. Pelaku dapat dipidana jika pelaku memenuhi delik yang tercantum dalam Pasal 167 KUHP. Pasal 22 UU No. 36/1999 dapat digunakan untuk akses ilegal terhadap jaringan sistem telekomunikasi atau jaringan internet, serta Pasal 38, 40, Pasal 42 UU 35/1999. Namun pasal ini belum memadai untuk diterapkan bagi pelaku akses ilegal terhadap jaringan internet.
Belum memadainya pasal-pasal dalam perundangundangan nasional diintegrasikan dalam RUU ITE. Dalam RUU ITE pembahasan permasalahan kejahatan carding dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (2) RUU ITE, bahwa menggunakan kartu kredit orang lain tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan merupakan tindakan yang dilarang. RUU KUHP Pasal 378 huruf b menjelaskan: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang mengakses dengan Cara apapun kartu kredit secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan.
Penegakan hukum kejahatan carding terdapat dua kendala yaitu teknis dan non -teknis. Kendala teknis meliputi alai bukti elektronik secara fisik mudah hilang. Kurang pahamnya masyarakat tentang cara"mengamankan" barang bukti jenis ini. Hambatan teknis meliputi biaya penyidikan yang mahal. Belum adanya prosedur yang tetap dan jelas dari pihak issuing bank untuk mengeluarkan kartu kredit bila terjadi credit card fraud. Ketentuan hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) mengenai alat bukti dan barang bukti secara limitatif dapat diterapkan dalam kasus carding di Indonesia. Kehadiran alat bukti dan barang hukti dalam kejahatan di dunia maya ini berbeda karakteristiknya dengan kejahatan biasa. Dalam cybercrime, alat bukti elektronik memiliki kedudukan yang khusus. Sebagai bukti suatu aktivitas yang menggunakan komputer dengan diperkuat keterangan ahli sehingga memiliki kekuatan hukum di depan pengadilan. Kendala-kendala ini perlu diintegrasikan dalam RUU ITE.
Pemerintah bersama DPR perlu segera mengantisipasi maraknya kejahatan di Internet ini. Dengan mendorong RUU Informasi dan Transaksi Elektronik untuk segera di undangkan. Sehingga tersedia payung hukum untuk melakukan .penydakan terhadap pelaku tindak pidana cyber crime.