Persekongkolan dalam pelaksanaan tender menjadi fenomena yang paling banyak terjadi dalam dunia persaingan usaha di Indonesia. Akibatnya, terjadi inefesiensi, kualitas barang dan jasa yang tidak baik. Hal ini disebabkan oleh state and business centered dalam kegiatan ekonomi. Pusat perekonomian hanya dimiliki oleh sebagian pelaku usaha. Pelaksanaan tender dan lelang dimonopoli oleh pelaku usaha tertentu yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Persekongkolan tender di Indonesia lebih didominasi dalam bentuk kerjasama antara penguasa dan pelaku usaha, selain antar pelaku usaha itu sendiri.
Pertumbuhan ekonomi hanya didominasi oleh sebagian pelaku usaha menandakan tidak terwujudnya keadilan yang merata. Dalam catatan, dari 40 juta pengusaha, hanya 200an merupakan pengusaha besar (baca: konglemerat) namun mendominasi GNP sekitar 60% persen, sedangkan penguasa kecil yang mencapai 99% lebih pengusaha hanya 40% dari porsi Gross National Product (GNP). Hal ini juga akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan (gap) ekonomi secara meluas di kalangan pengusaha dan masyarakat sehingga keadilan yang merata sulit terwujud. Dengan menggunakan hak inisiatif DPR dibentuklah UU. No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Larangan melakukan persekongkolan tender terdapat pada Pasal 22. Pasal 22 UU. No. 5 Tahun 1999 secara tegas melarang pelaku usaha bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau memenangkan tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Implementasi konsep dan paradigma dalam kebijakan dan hukum persekongkolan tender secara khusus dan persaingan usaha secara umum dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU dalam menjalankan amanat UU. No. 5 Tahun 1999 telah memutuskan dan menetapkan perkara yang dilaporkan maupun dari inisiatif.
Dalam lima tahun perjalanannya, KPPU telah memutus 9 (sembilan) putusan mengenai persekongkolan tender dari 17 perkara yang ditangani. 3 (tiga) diantaranya dinyatakan tidak terbukti terjadi persekongkolan tender dan 6 (enam) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan persekongkolan tender. Dari 6 (enam) putusan KPPU mempunyai bermacam karakter persekongkolan tender terjadi, ada yang bersifat persekongkolan horizontal antar sesama pelaku usaha dan lebih banyak persekongkolan vertikal antara panitia dengan pelaku usaha.
Bentuk persekongkolan terjadi juga bervariasi, melakukan persekongkolan di sebuah tempat, persaingan yang semu (sham competition), persyaratan prakualifikasi yang menuju pada satu pelaku usaha serta memberikan fasilitas khusus bagi pelaku usaha tertentu. Dan diantara yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan majelis hakim, Secara umum indikasi awal dalam perkara yang diputuskan oleh KPPU merupakan bentuk pelanggaran atas Keppres No. 80/2000 tentang pengadaan barang dan jasa dan ketentuan pengadaan barang dan jasa masing-masing perusahaan. Untuk itulah sinkronisasi UU. No. 5 tahun 1999 dan Keppres pengadaan barang dan jasa menjadi sangat penting dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.