UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Analisis model bisnis Bulk Lya Airlines

Ahmad Ulya; Bagio Nugroho Karno, supervisor (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006)

 Abstrak

Sebuah perusahaan harus mampu menyikapi berbagai perubahan lingkungan industri yang dapat mempengaruhi bisnisnya baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk dalam industri penerbangan rute pengumpan dan perintis dimana industri penerbangan sarat dengan modal dan sifat produk yang mudah hangus. Strategi bersaing yang termanifestasi dalam bentuk model bisnis penting untuk dilakukan analisis guna mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
Studi Karya Akhir ini berangkat dari fenomena unik industri penerbangan rute pengumpan dan perintis dengan adanya outsourcing yang dilakukan maskapai penerbangan untuk proses pemasaran dan penjualan. Bentuk ini dikenal dengan model bisnis bulk yang memberikan hak eksklusif penjualan seluruh kapasitas pesawat.
Pokok mendasar penyebab urgensitas LYA Airlines harus meninjau model bisnisnya datang dari kebijakan pemerintah yang merangsang perkembangan usaha dimana memberikan kesempatan LYA Airlines untuk berkembang sekaligus membuka peluang peningkatan persaingan yang muncul dari maskapai lama ataupun pemain Baru. Tantangan tersebut aka' berwujud serangan alas kekuatan ikatan dua entitas yang bekerjasama antara LYA Airlines dengan mitra general sales agent (GSA).
GSA dapat melepaskan diri dan beralih kepada maskapai penerbangan lain yang menawarkan keuntungan lebih besar terutama dari national network carrier melalui jaringan rote yang besar. Kemungkinan lain adalah lepasnya GSA untuk mendirikan maskapai penerbangan sendiri. Indikasi kemungkinan pemutusan hubungan kerjasama tampak dari perilaku GSA yang berusaha melobi pemerintah dimana saat ini telah membuka kembali keran perijinan pendirian maskapai penerbangan khusus untuk rule pengumpan dan perintis.
Panting bagi LYA Airlines untuk mengamankan bisnis Non Papua mengingat wilayah ini menjadi sandaran pertumbuhan usaha dengan prospek masa depan yang menjanjikan, selain itu wilayah Papua mulai menampakkan kejenuhan dengan indikasi tidak terserapnya kapasitas angkutan kargo yang ditawarkan. Lepasnya GSA akan menyebabkan putusnya mata rantai penciptaan nilai pada proses hilir sehingga bisnis Non Papua tidak berjalan. Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa seluruh rangkaian proses penciptaan nilai tersedia.
LYA Airlines memiliki asset speccity berupa armada pesawat dimana hal tersebut menjadi exit barrier yang besar sehingga akan sangat merugikan jika keluardari bisnis Non Papua karena harus menangguk beban biaya tetap yang timbul sementara pendapatan tidak dapat diperoleh dengan kekosongan operasi. Dengan demikian, ketergantungan LYA Airlines atas bisnis Non Papua bukan saja datang dari prospek yang menjanjikan namun jugs efek kerugian yang ditimbulkan jika keluar dari bisnis ini.
Meskipun demikian, upaya pengamanan proses hilir tidak serta merta dapat dilakukan dengan mengambil alih peranan GSA untuk dikerjakan secara internal perusahaan. Kendala yang mencuat adalah karakteristik industri penerbangan rate pengumpan dan perintis dimana terdapat afilasi biro perjalanan yang dapat bereaksi negatif dengan melakukan blockaded entry. Kendala lain adalah waktu yang dibutuhkan untuk membangun kesiapan internal. Semakin lama proses maka akan semakin besar biaya yang ditanggung.
Langkah preventif untuk pengamanan bisnis Non Papua dapat dilakukan dengan joint venture dengan mitra GSA terkuat yaitu LST Travel. Secara jangka pendek solusi joint venture akan menghindarkan dari resiko kehilangan bisnis dan investasi yang besar untuk pembentukan kapabilitas internal. Solusi ini secara strategic juga menguntungkan dalam jangka panjang dengan kesempatan pembelajaran proses hilir berupa marketing dan penjualan, khususnya dalam jaringan distribusi sekaligus penetrasi kepada afiliasi biro perjalanan.
Faktor kunci keberhasilan terbentuknya joint venture terletak pada daya tawar dimana LYA Airlines dapat menawarkan pertambahan keuntungan dari kondisi kerjasama model bisnis bulk yang berasal dari pemberian hak penjualan seluruh teritori ditambah jalinan kerjasama dengan maskapai lain dalam bentuk interline. Ancaman LST Travel akan dinetralisir melakui joint venture agar berubah menjadi mitra yang bersahabat.
Pada akhirnya independensi sebagai sasaran jangka panjang harus tetap diupayakan melalui peningkatan kapabilitas internal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan penyesuaian organisasi yang difasilitasi oleh joint venture.

Commuter airlines facing a fast changing business environments that can lead to company sustainability. Carriers are driven to conduct an appropriate strategy to obtain such a competitive advantage in order to adept with competition forces. The airlines industry basically is very capital-intensive business whilst produce perishable product. The increased competition thus associated with new regulation emphasizes the need to reconsider the business model.
Previous studies on outsourcing stated that the company should keep the core process inside, In contrast, this research would explore the unique phenomenon in Indonesia's commuter airlines industry that outsources marketing and sales function. - Marketing and sales are the airlines core process value chain. The outsourcer is general sales agent (GSA) who will conduct those activities as if airlines branch offices. This model also known as bulk business model.
The main challenge is how LYA Airlines, as one of the commuter player in Indonesia, must respond to government policies. Almost from the inception of commercial aviation industry, the governments regulate airlines. In recent year, substantial government policy was made to stimulate the business growth as well as to raise the competition. Problem associate with the environment changes due to government policy will threatening the Non Papua Business in the form of breaking forces to the business contract between LYA Airlines and GSA.
GSA could easily terminate the contract and shift to other airlines especially national network carrier who offers more benefit with their wider route network.
Another possibility is GSA backward integration facilitated by new government policy. The government had already opened the airlines license for those who will operate in the commuter services.
LYA Airlines should reassure the continuity of their Non Papua business which is well promising for future growth. Another reason is the Papua business could not absorb any incremental freighter capacity supplied that indicate as market saturation. If the contract termination from GSA occurs, core process value chain would not complete and LYA Airlines would loose the market to generate revenue. Therefore, LYA Airlines must ensure the whole value chains are functioning.
The present of asset specificity in the form of aircraft would impede LYA Airlines to exit from the business as well as to stay-in without operation. Aircraft would make a big exit barrier which is burdened LYA Airlines with fixed cost. Thus LYA Airlines need Non Papua business not only for future prospect but also the losses if quit from the business.
Lack of resources and commuter airlines industry characteristic turn out to be limitation of the action required to secure the value chain. LYA Airlines could not take over the downstream process while spokes city intermediary could react negatively by doing blockaded entry. In the mean while LYA Airlines internal resources has not ready yet and time for developing skill and knowledge emerge as an issue. Longer time needed would increase the cost required.
LYA Airlines should constitute joint venture with the current biggest GSA partner, LST Travel, as prevention action. In the short term, loosing the Non Papua business and additional investment to secure the business could be avoided. In the long term, joint venture also gives benefit as an opportunity to acquire the downstream process skill and knowledge. While continuing to acquire internal capability for future independency, LYA Airlines working to resolve issues with forming joint venture, so additional cost could be avoided.
Key success factor in forming joint venture is bargaining power between parties. LYA Airlines could offer more benefit by giving LST Travel selling right for the whole territory. In addition, more benefit could come from interline agreement with another carrier especially national network carrier. Hereby, treat from LST Travel could be neutralized.

 File Digital: 1

Shelf
 Analisis model-TOC (T 18501).pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Tesis Membership
No. Panggil : T18501
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik : xxiii, 223 lembar; il., 29 cm.
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T18501 15-19-010104722 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 96625
Cover