Masalah yang tak terselesaikan dan terus berlanjut dalam pernikahan sering merugikan istri. Agar mampu bertahan dalam pernikahan konfliktual itu, istri perlu mengembangkan penerimaan (acceptance) atau strategi kognitif tertentu. Hipotesis ini tidak sejalan dengan model tiga tahap forgiveness (Gordon et aI., 2000), yang mengasumsikan acceptance hanya bisa terjadi setelah resolusi masalah pernikahan.
Studi kasus tunggal digunakan untuk menelusuri dinamika acceptance istri yang bertahan dalam pemikahan konfliktual. Analisis didasari model tiga tahap forgiveness, yang sudah dimodifikasi dengan empat tipe acceptance (Hayes, 2001) dan faktor penentu stabilitas pernikahan (Lewis & Spanier, 1979; Heaton & Albrecht, 1991).
Hasil analisis menunjukkan bahwa masalah mereduksi power subyek dalam pernikahan dan harga dirinya sebagai istri. Konflik tidak terselesaikan karena marital skew dan experiential avoidance. Dengan menghindar, penyelesaian masalah diserahkan kepada otoritas eksternal. Melemahnya tanggung jawab personal ini menghambat resolusi afektif, dan menyisakan kemungkinan pada affirmation/approval.
Faktor yang mendukung subyek untuk bertahan meliputi ketergantungan ekonomi pada suami, harapan menggantungkan hidup pada anak di masa depan, dan terimbanginya kekecewaan dengan pengalaman menyenangkan. Keinginan menebus kekalahan dari suami di masa pranikah juga signifikan bagi subyek. Kontribusi faktor kepribadian di luar fokus bahasan studi ini.