Dalam rangka meningkatkan peranan penerimaan negara khususnya dari sektor pajak maka persoalannya adalah bagaimana kemampuan kita untuk menggali dan memobilisasi berbagai sumber penerimaan dari dalam negeri sendiri secara efektif. Misalnya dari sektor Jasa Pengurusan Transportasi (JPT) saja penulis melihat masih banyak potensi penerimaan pajak yang bisa digali dan dijadikan sebagai sumber pemasukan Kas Negara RI namun masih belum bisa terjaring secara luas karena terganjal oleh masalah administratif dan kepastian hukum.
Perselisihan dan kesalahan penafsiran mengenai freight yang ditagihkan oleh freight forwarder acap kali menimbulkan kerancuan dalam penerapan pengenaan PPN sewaktu pemeriksaan dilakukan oleh fiskus terhadap SPT PPN dari freight forwarder. Sikap ambivalenri dari aparat pajak dalam perlakuan pemajakan PPN terhadap transaksi bisnis international freight forwarder(IFF) mernperlihatkan ketidakadilan dalam pemungutan pajak karena pengenaannya dilakukan secara tidak merata, tidak berlaku secara umum serta sifatnya situasional. Fenomena ketidakadilan inilah yang berpotensi akan timbulnya penggelapan pajak.
Tujuan penulisan ini adalah untuk untuk mengkaji adanya hubungan secara konsepsional tersebut telah sesuai dengan hukum positif ditinjau dari sudut kajian kepastian hukum, keadilan dan netralitas pajak
Metode penelitian yang dikenakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analistis dengan teknik pengumpulan data berupa studi perpustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait.
Dari hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan, bahwa secara konsepsional sebenarnya nilai tambah freight tersebut merupakan mark-up yang diperoleh oleh perusahaan JPT yang harus dikenakan PPN jasa. Potensi pengenaan PPN ini belum digali secara maksimal karena terhambat oleh kendala di lapangan termasuk di kalangan petugas pajak dalam pemahaman yang belum merata mengenai bisnis dan aspek perpajakan yang terkait dengan freight.
Oleh sebab itu, pihak fiskus perlu mengadakan suatu forum diskusi bersama tim dari Asosiasi GAFEKSI/INFA yang dilakukan secara periodik dan berkesinambungan antar pejabat teras dari kedua instansi tersebut; pertama, agar tidak terjadi suatu perbedaan penafsiran antara fiskus dengan wajib pajak IFF mengenai pengenaan PPN terhadap airfreight dan selanjutnya agar dibuatkan suatu surat edaran khusus yang menjelaskan penerapan tarif PPN terhadap airfreight tersebut; kedua, untuk meningkatkan kepastian hukum dan kesederhanaan dalam pemungutan pajak sehingga netralitas dalam perdagangan dalam negeri tidak terganggu; ketiga, untuk meningkatkan keseragaman dalam memahami seluk beluk dunia bisnis IFF itu, serta menghindari adanya praktek yang tidak sehat bagi pelaku dunia usaha di lapangan, maka sebaiknya dilakukan suatu pelatihan bagi aparat pajak dari berbagai tingkatan.