Resistensi terhadap S/P dihubungkan dengan mutasi titik pada enzim DHFR/DHPS, sehingga menyebabkan melemahnya ikatan afinitas antara enzim dengan inhibitornya. Meskipun secara in vitro hal ini sudah dibuktikan, namun secara in vivo belum ada pola mutasi yang spesifik yang dapat digunakan untuk memperkirakan kegagalan S/P, mengingat penggunaan S/P sebagai first line atau second line di beberapa daerah endemik malaria memacu timbulnya resistensi SIP dalam waktu yang relatif cepat. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria, dimana hampir 50% P. falciparum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah S/P akan dipakai sebagai first line ataupun second line anti malaria drug , diperlukan analisis dari mulasi gen DHFR dan DHPS, yang berguna memberikan masukan untuk kebijkan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparum yang didapat dari pasien yang berkunjung ke Puskesmas Kenarilang (Alor) dan Hanura (Lampung) kemudian diberi S/P dan diikuti hingga 28 hari pengamatan. Dari spot darah pasien, DNA P. falciparum di ekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi chelex, dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen DHFR dan DHPS. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihat adanya mulasi di kedua gen tersebut.
Kegagalan pengobatan di Alor dan Lampung sebesar 8,5 % dan 22,5%. Dari kedua daerah ditemukan adanya mutasi DHFR yaitu aspargin 108 Alor vs Lampung sebesar 71,2% vs 87,2%, valin 16 sebesar 93,6% vs 33,3%, Arginin 59 sebesar 59,6% vs 72,4%. Tidak ditemukan adanya mutasi isoleusin 51 di kedua daerah, meskipun di Alor hanya ditemukan mutasi leusin 164 hanya sebesar 8,5%. Sedangkan mutasi DHPS pada residu glisin 437 sebesar 64% hanya ditemukan di Lampung saja. Proporsi mutasi ganda dikedua daerah masing-masing sebesar 48,9% dan 51,9% untuk Alor dan Lampung dengan predominasi aspargin 108 + arginin 59. Aspargin 108 + arginin 59 I(DHFR), glisin 437 (DHPS) atau gabungan ketiganya (DHFR mutan + DHPS mutan) berhubungan dengan kegagalan pengobatan S/P. Ada hubungan age-dependent distribusi parasit dengan alel gen DHFR mutan + DHPS mutan dimana akan semakin dijumpai dalam proporsi yang semakin sedikit di usia dewasa (> 20 tahun). Terdapat perbedaan proporsi pembawa gametosit dimana diakhir pengamatan (H28). dimana Lampung lebih banyak dari Alor. Penggunaan SIP di Alor masih dapat dipakai sepanjang tidak digunakan sebagai first line antimalaria drug dan harus digunakan dengan kombinasi SIP dan obat lainnya. Sedangkan di Lampung penggunaan SIP sebaiknya diganti mengingat tingginya mutasi di daerah tsb.