Introduksi: Toksokariasis dilaporkan dengan prevalensi tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Mengingat kurangnya sistem surveilans yang memadai, beban toksokariasis yang sebenarnya di Indonesia mungkin diabaikan. Sumba Barat Daya sebagai salah satu daerah endemis filariasis limfatik (LF), telah memulai pemberian obat massal (MDA) sejak tahun 2014. Namun, dampak regimen obat ini terhadap toksokariasis belum diketahui.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar “Studi Berbasis Komunitas Terapi 2 Obat versus 3 Obat untuk Limfatik Filariasis di Indonesia Bagian Timur”. MDA diberikan kepada masyarakat dengan kombinasi dosis tunggal albendazol (400 mg) dan dietilkarbamazin sitrat (6 mg/kgBB). Sampel diambil sebelum dan sesudah MDA masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Antigen protein rekombinan rTc-CTL-1 IgG spesifik diukur dengan ELISA sebelum dan sesudah MDA.
Hasil: Sebanyak 70 partisipan terlibat, terdiri dari 35 subjek perempuan dan 35 subjek laki-laki dengan median usia 26 (jangkauan interkuartil:11-40) tahun. Rentang median dan IQR IgG spesifik rTc-CTL-1 terhadap toksokariasis yang diukur pada awal dan setelah MDA masing-masing adalah 0,94 (0,57 – 1,59) dan 1,11 (0,43 - 1,67). Tidak ada perubahan signifikan dalam kadar IgG spesifik rTc-CTL-1 setelah MDA. Tingkat seropositivitas IgG spesifik rTc-CTL-1 tidak mengalami penurunan yang signifikan; penurunannya hanya 1,4%, dari 94,3% sebelum MDA menjadi 92,9% setelah MDA. Analisis tambahan menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki efek perancu pada perbedaan positif IgG antara dua titik waktu.
Konklusi: Regimen MDA untuk LF yang terdiri dari albendazol dan DEC tampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi toksokariasis di desa Karang Indah, kabupaten Sumba Barat Daya. Di masa depan, disarankan untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan ukuran sampel yang lebih besar dan durasi penelitian yang lebih lama.
Introduction: Toxocariasis has been reported at high prevalences in low to middle-income countries. Given the lack of adequate surveillance systems, the actual burden of toxocariasis in Indonesia is likely to be overlooked. Sumba Barat Daya as one of endemic areas for lymphatic filariasis (LF), has started mass drug administration (MDA) since 2014. However, the impact of this drug regimen on toxocariasis is not known.Methods: This research was a prospective study, as a part of the larger study “Community Based Study of 2-Drugs versus 3-Drugs Therapy for Lymphatic Filariasis in Eastern Indonesia”. MDA was given to the community with combination of a single dose of albendazole (400 mg) and DEC (6 mg/kgBW). Samples were taken before and after MDA in 2016 and 2017, respectively. Recombinant protein antigen rTc-CTL-1 specific IgG was measured by ELISA before and after MDA.Results: A total of 70 participants were involved, consisting of 35 female and 35 male subjects with median age of 26 (interquartile range: 11 – 40) years old. The median and IQR of rTc-CTL-1 specific IgG against toxocariasis measured at baseline and after MDA was 0.94 (0.57 – 1.59) and 1.11 (0.43 – 1.67), respectively. There was no significant change in levels of rTc-CTL-1 specific IgG after MDA. The seropositivity rate of rTc-CTL-1 specific IgG had no significant decrease; the decrease was only 1.4%, from 94.3% before MDA to 92.9% after MDA. Additional analysis showed that age and gender had no confounding effect on the difference of IgG positivity between the two time points.Conclusion: The MDA regimen for LF consisting of albendazole and DEC seemed to have no significant impact on the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah village, Sumba Barat Daya district. In the future, it is recommended to conduct a larger study involving extended sample size and longer duration of the study.