Quarter life crisis merupakan fenomena krisis emosional di usia dewasa awal akibat dari belum terselesaikannya tugas perkembangan pada usia tersebut. Ada ketidakpuasaan terhadap yang mengalaminya, karena merasa tidak sebaik lingkungan sebayanya. Oleh karena itu, penelitian ini membahas mengenai bagaimana manajemen makna terkoordinasi individu dengan quarter life crisis dalam keluarga. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan strategi analisis studi kasus. Penelitian ini dilakukan terhadap individu usia 20-30 tahun yang masih tinggal serumah dengan orang tuanya (keluarga inti). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus individu yang mengalami quarter life crisis dalam keluarga di Indonesia semakin kompleks akibat dari adanya faktor gender, tuntutan sosial dari orang tua dan lingkungan, serta budaya Indonesia yang masih konservatif dan kental dengan unsur agama. Terutama individu perempuan yang rentan mengalami tekanan karena tuntutan sosial tersebut. Mereka sulit mengekspresikan dirinya karena ruang gerak terbatas akan norma dan nilai yang ada. Selain itu, kurangnya kemampuan individu untuk mengomunikasikan hal ini terhadap orang tuanya sebagai support system, membuat mereka cenderung menghindari konflik dan hanya berpasrah pada Tuhan dan menggunakan agama sebagai alat untuk menenangkan diri dari tekanan tersebut.
Quarter life crisis is a phenomenon of emotional crisis in early adulthood as a result of unfinished developmental tasks at that age. There is dissatisfaction with those who experience it, because they feel they are not as good as their peers. Therefore, this study discusses how someone with a quarter life crisis in the family doing coordinated meaning management. The research method used qualitative research with case study analysis strategy. This research was conducted on individuals aged between 20-30 years old who still live at home with their parents (nuclear family). The results of the study show that cases of individuals experiencing quarter life crisis in families in Indonesia are more complex as a result of gender factors, social demands from parents and the environment, and Indonesian culture which is still conservative and have a strong religious aspect. Especially women who are more vulnerable experiencing pressure because of these social demands. They find it difficult to express themselves because the space for movement is limited by existing norms and values. In addition, the lack of ability to communicate this thing to their parents as a support system, makes them tend to avoid conflict and only surrender to God and use religion as a tool to calm themselves from this pressure.