Disertasi ini menguraikan tentang prosesual adaptasi etnis Tionghoa Palembang
dari masa kolonial (1905) hingga pembubaran Lembaga Vreemdeoosterlingen
1950 pasca Konfrensi Meja Bundar. Pendekatan adaptasi dari W. Bennet
digunakan untuk melihat proses adaptasi sosial etnis Tionghoa Palembang dalam
setiap masa penguasa yang berbeda. Penelian ini menemukan bahwa kelompok
etnis Tionghoa Palembang mampu beradaptasi dan mempertahankan eksistensinya
di Palembang. Tercatat bahwa proses adaptasi tersebut berlangsung sejak masa
Kerajaan Sriwijaya dan semakin mengkristal pada masa Kesultanan Palembang.
Segi budaya dan fleksibelitas dalam aspek religi etnis Tionghoa di Palembang
memainkan peran penting, baik sebagai katalisator maupun mempermudah untuk
berdinamika dalam ruang Palembang. Melalui integrasi keagamaan kelompok etnis
Tionghoa membangun sarana/lembaga pernikahan dengan masyarakat lokal sejak
masa Kerajaan Sriwijaya, hingga masa Kesultanan Palembang. Kebudayaan etnis
Tionghoa yang berasal dari negeri leluhur ternyata memiliki sedikit kemiripan
dengan kebudayan Melayu-Islam Palembang milik masyarakat lokal, sehingga
mampu berpadu tanpa terjadi friksi/ konflik. Tradisi Ceng Beng yang berpadu
dengan tradisi ziarah kubur (Kubro) milik etnis Tionghoa Palembang, terserapnya
bahasa Tionghoa ke dalam bahasa Melayu di Palembang, hingga aspek kuliner
(Pempek) yang kemudian menjadi representasi kuliner bersama sebagai identitas
kota Palembang menunjukkan bagaimana kemampuan adaptasi etnis Tionghoa di
Palembang.
This dissertation describes the process of adaptation of Palembang Chineseethnicity from the colonial period (1905) to the dissolution of theVreemdeoosterlingen Institute in 1950 after the Round Table Conference. Theadaptation approach from W. Bennett is used to see the process of social adaptationof the Palembang Chinese ethnicity in each different ruling period. This researchfound that the Palembang Chinese ethnic group was able to adapt and maintain itsexistence in Palembang. It is recorded that this adaptation process took place sincethe Sriwijaya Kingdom and became increasingly crystallized during the PalembangSultanate. In terms of culture and flexibility in the religious aspects of the ethnicChinese in Palembang, they play an important role, both as a catalyst and tofacilitate dynamics in Palembang's space. Through religious integration, theChinese ethnic group built marriage facilities/institutions with the local communityfrom the time of the Sriwijaya Kingdom to the Palembang Sultanate. It turns outthat the culture of the Chinese ethnic originating from their ancestral country haslittle resemblance to the Palembang Malay-Islamic culture belonging to the localcommunity, so that they are able to blend together without friction/conflict. TheCeng Beng tradition combined with the tradition of pilgrimage to graves (Kubro)belonging to Palembang Chinese ethnicity, the absorption of Chinese into theMalay language in Palembang, to the culinary aspect (Pempek) which later becamea joint culinary representation as the identity of the city of Palembang shows howthe Chinese ethnic adaptation ability in Palembang.