Latar belakang: Penggunaan media sosial di kalangan pelaku praktik kedokteran gigi marak dilakukan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Fenomena pelanggaran e-profesionalisme telah dilaporkan dalam literatur dan dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Timbulnya ekspektasi pasien yang terlalu tinggi atau tidak logis terhadap perawatan, termasuk di bidang Prostodonsia, semakin marak terjadi. Terlebih lagi, definisi e-profesionalisme di Indonesia masih merupakan perdebatan. Minimnya aturan tentang penggunaan media sosial untukpelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia menyebabkan tidak jelasnya batas tindakan profesional dalam bermedia sosial.
Tujuan: Mengetahui preferensi, intensi dan perilaku penggunaan media sosial di kalangan pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan dengan menggunakan kuesioner kepada tiga kelompok subjek, yaitu dokter gigi spesialis, dokter gigi umum dan mahasiswa koas. Studi kualitatif melalui wawancara singkat dilakukan pada 8 orang perwakilan kelompok subjek tersebut untuk memperkaya item kuesioner dari literatur. Diskusi pakar dilakukan untuk merumuskan item kuesioner yang menyusun domain preferensi, intensi dan perilaku bermedia sosial. Validasi kuesioner dilakukan melalui uji coba kuesioner kepada 30 orang perwakilan kelompok subjek. Kuesioner disebarkan melalui media sosial ke 450 responden dari ketiga kelompok subjek. Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia dari setiap kelompok generasi menggunakan media sosial 1-3jam/ hari. Platform yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp, Instagram dan YouTube. Tujuan utama mereka adalah mencari hiburan dan jenis konten yang paling banyak dibagikan adalah update kehidupan pribadi. Mayoritas responden memasang pengaturan privasi untuk mengatasi hambatan berupa ancaman terhadap keamanan data. Mereka percaya bahwa penggunaan media sosial dapat memberikan informasi dan memperluas jaringan sosial, namun menyita waktu. Pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia menganggap konten iklan/promosi berisi kalimat ajakan, diskon, harga, dan dokter gigi sebagai duta merk termasuk sebagai kategori konten yang tidak profesional. Banyaknya konten promosi yang beredar di media sosial memicu pemilihan sikap netral responden dalam menentukan sikap e-profesionalisme terhadap konten promosi. Organisasi profesi dianggap belum memberikan aturan yang memadai, terutama dalam hal pengaturan tata cara beriklan di media sosial. Konten restorasi direk kedokteran gigi merupakan konten utama yang banyak dilihat di media sosial. Bidang Prostodonsia merupakan bidang yang terdampak tertinggi kedua oleh adanya media sosial. Tingkat kekhawatiran terhadap dampak dari media sosial pada citra diri, citra institusi profesi dan karir meningkat seiring meningkatnya pendidikan. Pada kelompok subjek dengan tingkat pendidikan dan usia yang lebih tinggi, cresponden cenderung tidak terpengaruh oleh media sosial dalam mendiagnosis/menentuka rencana perawatan
Kesimpulan: Preferensi pelaku praktik kedokteran gigi terhadap penggunaan media sosial tergambarkan melalui pemahaman terhadap faktor sosiodemografis, kepercayaan terhadap penggunaan media sosial, pemberlakuan aturan penggunaan media sosial, serta sikap e-profesionalisme dalam bermedia sosial. Preferensi, Intensi dan Perilaku bermedia sosial di setiap kelompok generasi cenderung sama. Setiap kelompok generasi cenderung memilih sikap netral terhadap konten promosi di media sosial. Aturan tentang tata cara beriklan di media sosial merupakan salah satu aturan yang dirasakan perlu untuk diterapkan di Indonesia. Preferensi dan intensi bermedia sosial di kalangan pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia selaras dan dapat menggambarkan perilaku mereka dalam bermedia sosial.
Background: The use of social media among dental practitioners is rife worldwide, including in Indonesia. Violation of e-professionalism has been reported in the literature and easily observed. Unrealistic patient expectations for treatment result, especially in Prosthodontics, is increasing across the board. Furthermore, the definition of e-professionalism in Indonesia is still a debate. The lack of regulations regarding the use of social media among Indonesian dental practitioners has led to blurry boundaries between professional and unprofessional actions.Objective: To find out about preferences, intentions, and behavior of social media usage among dental practitioners in Indonesia.Methods: The study was conducted using a questionnaire among three groups, including specialist dentists, general dentists and dental students. A qualitative study was conducted through interviews with eight representatives to enrich the questionnaire items found in a literature search. Expert panel discussions were held to determine questionnaire items that build the preferences, intentions, and behavior domains on social media usage. Questionnaire validation was performed by testing the questionnaire on 30 representatives of the subject group. The questionnaire was spread-out through social media with a target of 450 respondents. The research results were analyzed descriptively using statistic software.Results: Dental practitioners in Indonesia from each generation group use social media for 1-3 hours/day regardless of the various sociodemographic factors behind it. The most used platforms are Whatsapp, Instagram, and YouTube. Their main goal and most shared digital content are to seek entertainment and personal life updates. Most respondents install privacy settings to overcome obstacles in the form of threats to data security. They believe that social media can provide information and broaden social networks, yet it is time-consuming. Dental practitioners in Indonesia consider advertising/promotional content that incorporates solicitations, discounts, prices, and dentists as brand ambassadors included as unprofessional content. The widely shared promotional content on social media triggers respondents' neutral attitude in determining e-professionalism towards promotional content. Indonesian Dental Association is considered not to provide adequate rules, especially in regulating advertising procedures on social media. The prosthodontics sector is the second highest affected dental field by social media. Higher levels of education shows increase of concern over social media's effects on career, professional institutions, and self-image. With increasing age and educational level, there was a decline in the proportion of respondents who acknowledged that social media had influenced their diagnosis or development of treatment plans.Conclusion: Dental practitioners' preference for using social media is illustrated by understanding their sociodemographic factors, belief in the use of social media, regulations, and attitudes towards e-professionalism. Social media preferences, intentions, and behavior in each generation group tend to show the same result. Each generation group tends to choose a neutral attitude towards promotional content on social media. Indonesian Dental practitioners demand regulation on how to advertise on social media. Social media preferences and intentions among dental practitioners in Indonesia are in conjunction and explaining their behavior in social media.