Berdasarkan data statistik BPOM (2021), masih terdapat 100 sarana produksi dan 778 sarana distribusi kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan, bahkan terdapat 482 laporan efek samping penggunaan kosmetik yang menandakan rendahnya ketaatan pelaku usaha terhadap ketentuan produksi dan peredaran kosmetik. Kemudian, dalam memasarkan produknya, pelaku usaha melakukan promosi di berbagai media sosial dengan mekanisme endorsement. Terhadap promosi kosmetika, hanya 72,15% yang memenuhi ketentuan dari target sebesar 86%. Salah satu kasus yang sampai ke Mahkamah Agung ialah kasus produksi, peredaran, dan promosi kosmetika dengan Nomor Putusan 3818 K/Pid.Sus/2022 yang memproduksi kosmetik dengan bahan berbahaya, tidak memiliki izin edar, dan melakukan promosi di media sosial yang dibantu oleh endorser. Oleh karena itu penulis akan membahas mengenai pengaturan produksi, peredaran dan promosi kosmetik terutama dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pelindungan Konsumen, Etika Pariwara Indonesia, serta peraturan-peraturan terkait lainnya mengenai produksi, peredaran, dan promosi kosmetik yang berlaku di Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif dan menganalisisnya berdasarkan ketentuan yang berlaku serta memberikan rekomendasi agar dibuatnya pengaturan khusus mengenai endorsement di Indonesia. Hasil dari penelitian ini ialah diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai promosi produk kosmetika, khususnya mengenai tata cara dan prosedur endorsement. Selain itu, dalam Putusan a quo, seharusnya tidak hanya Karina sebagai pelaku usaha yang dapat dikenakan pertanggungjawaban tetapi juga para pengurus usaha kosmetik dan endorser yang mengiklankan kosmetik tersebut dalam sosial media mereka.
According on National Agency of Drug and Food Control (BPOM) statistical data of 2021, there are still 100 manufacture facilities and 778 distribution facilities that don't adhere to the rules. In addition, there have been 482 reports of cosmetics side effects indicating the low rate compliance of business actors to the provisions of cosmetics manufacture and distribution rules. Business actors use and endorsement mechanism to promote the products on numerous social media platforms. In terms of cosmetics promotion, there only 72.15% that was met the target which is at 86%. One of the cases that reached the Court was the case for the manufacturing, distribution, and promotion of cosmetics with Decision Number 3818 K/Pid.Sus/2022 which manufactured cosmetics with hazardous ingredients, did not obtained a distribution permit, and conducted promotions on social media assisted by endorser. Therefore this research discuss the implementation of manufacturing and promotion regulations of cosmetics according to the Health Law and Consumer Protection Law. Furthermore this research also discuss the cosmetics promotion regulation based on Consumer Protection, EPI Law and other related regulations that apply in Indonesia. This study used descriptive analytical research with a qualitative approach and analyzed according to applicable regulations. Also the writer stipulate the recommendations for making special regulation regarding endorsements in Indonesia. The study resulted that it should not only be Karina as a business actor who can be held accountable in the a quo decision, but also cosmetic business managers and endorsers who advertise these cosmetics on their social media.