Ketahanan Nasional suatu bangsa dapat dikatakan berhasil apabila bangsa tersebut mampu menciptakan kesejahteraan dan juga keamanan di dalam negaranya secara seimbang. Tidak akan ada keamanan tanpa kesejahteraan yang memadai begitupun sebaliknya. Ketimpangan ekonomi di Indonesia masih cukup tinggi, menurut angka yang di keluarkan BPS RI, koefisein gini masyarakat perkotaan Indonesia bulan September 2017 masih sebesar 0,404 sedangkan di pedesaan 0,320. Kesenjangan ekonomi ini juga diakui oleh menteri keuangan RI Sri Mulyani, Ketua KPK RI Periode 2011-2015, Abraham Samad, Wakil Presiden RI periode 2014-2019, M. Jusuf Kalla, maupun Menteri Perekonomian RI Periode Mei 2014 - Oktober 2014 Chairul Tanjung bahwa 1% penduduk di Indonesia menguasai 50 % aset negara. Penyebab Ketimpangan ini cenderung diarahkan kepada etnis Tionghoa dengan didukung oleh data dari Majalah Forbes, tiga besar orang terkaya di Indonesia selama lima tahun berturut-turut ditempati oleh pengusaha beretnis Tionghoa, selain itu dimasa pemerintahan Presiden Joko Widodo banyak proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh pemborong dari negeri Tiongkok, bukan hanya berinvestasi tetapi juga turut membawa pekerja dari negaranya sehingga masyarakat di Indonesia belum diberdayakan secara maksimal. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2018, Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019 tentu hal-hal ini bisa menjadi isu hangat yang disalahgunakan kembali ke arah masalah rasialis etnis Tionghoa seperti pada peristiwa Mei 1998 dimana krisis dan kesenjangan ekonomi menjadi pemicu utama terjadinya kerusuhan berdarah. Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Indonesia terhadap golongan Tiongha di tahun 2018 masih cenderung negatif dan menjadi ancaman disintegrasi bangsa yang mengganggu ketahanan nasional Indonesia. Penelitian ini difoksukan di wilayah DKI Jakarta dengan mewawancarai informan kunci di bidang Pancasila dengan metode penelitian campuran eksploratori.
National Resilience of a nation can be said to succeed if the nation is able to create prosperity and also security in the country in a balanced manner. There will be no security without adequate welfare and vice versa. Economic imbalances in Indonesia are still quite high, according to figures released by BPS RI, the coefisein gini of Indonesian urban communities in September 2017 is still at 0.404 while in the countryside 0.320. Economic gap is also recognized by the minister of finance of Indonesia Sri Mulyani, Chairman of KPK RI Period 2011-2015, Abraham Samad, Vice President of the Republic of Indonesia 2014-2019, M. Jusuf Kalla, and the Minister of Economy of the Republic of Indonesia May 2014 - October 2014 Chairul Tanjung that 1 % of the population in Indonesia controls 50% of state assets. The cause of this Inequality tends to be directed to ethnic Chinese supported by data from Forbes Magazine, the top three richest people in Indonesia for five consecutive years occupied by Chinese businessmen, besides during the administration of President Joko Widodo many infrastructure projects undertaken by contractors from China, not only invest but also bring workers from their country so that people in Indonesia have not been maximally empowered. In the lead up to the 2018 election of the Head of Region, the Legislative Election and the Presidential Election of 2019, these things could become a hot issue that was re-abused in the direction of ethnic Chinese racial issues as in the events of May 1998 where the crisis and economic disparity became the main trigger for bloody riots. This research shows that Indonesian people's perception towards Tiongha group in 2018 still tend to be negative and become a threat of disintegration of the nation that disrupts Indonesia's national resilience. This research was focused in Jakarta area by interviewing key informants in Pancasila field with exploratory mixture research method.