Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi batas-batas fauna pada tarsius di semenanjung utara Sulawesi serta mengukur dampak perubahan habitat khususnya aktivas perkebunan skala kecil dalam beberapa tahun terakhir terhadap keberlangsungan hidup tarsius. Studi dibagi menjadi tiga makalah yakni: 1) Analisis Kuantitatif Duet call Tarsius dari Survei Lapangan Mengungkap Bentuk Akustik Baru di Gorontalo (Indonesia); 2) Kerapatan Relatif Tarsius supriatnai pada Habitat Perkebunan dan Hutan Sekunder Bentang Alam Popayato-Paguat (Gorontalo, Indonesia); dan 3) Preferensi Habitat dan Site Fidelity Tarsius supriatnai di Area Perkebunan dan Hutan Sekunder Bentang Alam Popayato-Paguat (Gorontalo, Indonesia). Hasil analisis makalah pertama menemukan empat kelompok akustik yakni: Manado (Tarsius spectrumgurskyae), Gorontalo (T. supriatnai), Tinombo (T. wallacei) dan kelompok yang sebelumnya tidak diketahui tersebar di antara Manado dan Gorontalo, yang dinamakan Labanu. Hasil analisis menunjukkan batas fauna di sepanjang pantai selatan yakni Sungai Bone (antara bentuk akustik Manado dan Labanu), Sungai Paguyaman (antara bentuk Labanu dan Gorontalo), Sungai Palasa (antara bentuk Gorontalo dan Tinombo). Di sepanjang pantai utara ditemukan zona kontak melalui identifikasi kelompok sosial heterospesifik dalam satu spektogram. Hasil makalah kedua menunjukkan bahwa kerapatan relatif di habitat perkebunan adalah 0,38 kelompok/ha dan 0,70 kelompok/ha di hutan sekunder, kepadatan substrat pergerakan, NDSI dan ACI tertinggi ditemukan di hutan sekunder, sedangkan kelimpahan serangga paling banyak ditemukan di habitat perkebunan. Hasil makalah kedua menunjukkan bahwa Tarsius supriatnai dapat beradaptasi dengan habitat perkebunan dengan kepadatan yang jauh lebih rendah. Hasil makalah ketiga menunjukkan bahwa pada habitat perkebunan, tumbuhan dengan INP tertinggi bukan merupakan pohon sarang. Sementara pada hutan sekunder, tumbuhan dengan INP tertinggi pada tipe pertumbuhan pohon (Ficus virens) adalah pohon sarang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa T. supriatnai sebagian besar menggunakan pohon sarang Bambusa vulgaris (26,32%) di areal perkebunan dan Schizostachyum lima dan Calamus zollingeri (28,57%) di hutan sekunder. Hasil survei juga menemukan bahwa 42,9% pohon sarang yang ditemukan pada tahun 2018 masih terus digunakan oleh T. supriatnai dalam lima tahun terakhir.
This study aims to validate the boundaries of the tarsier fauna on the northern peninsula of Sulawesi and measure the impact of changes in habitat, especially small-scale plantation activities in recent years, on the survival of tarsiers. The study is divided into three papers, namely: 1) Quantitative Analysis of Tarsier Duet Calls from Field Surveys Reveals a New Acoustic Form in Gorontalo (Indonesia; 2) Relative Density of Tarsius supriatnai in Agricultural Habitat and Secondary Forest in the Popayato-Paguat Landscape (Gorontalo, Indonesia); and 3) Habitat Preference and Site Fidelity of Tarsius supriatnai in Agricultural Areas and Secondary Forest in the Popayato-Paguat Landscape (Gorontalo, Indonesia). The results of the analysis in the first paper found four acoustic groups, namely: Manado (Tarsius spectrumgurskyae), Gorontalo (T. supriatnai), Tinombo (T. wallacei) and a previously unknown group spread between Manado and Gorontalo, called Labanu. The results of the analysis show that the faunal boundaries along the south coast are the Bone River (between the Manado and Labanu acoustic forms), the Paguyaman River (between the Labanu and Gorontalo forms), the Palasa River (between the Gorontalo and Tinombo forms). Along the north coast, contact zones were found through the identification of heterospecific social groups in one spectrogram. The results of the second paper show that the relative density in agricultural habitat is 0.38 groups per ha and 0.70 groups per ha in secondary forest; the highest density of substrate movement, NDSI and ACI is found in secondary forest, while the abundance of insects is most commonly found in agricultural habitat. The results of the second paper show that Tarsius supriatnai can adapt to agricultural habitats with much lower densities. The results of the third paper show that in agricultaral habitats, plants with the highest IVI are not nest trees. Whereas in secondary forest, the plants with the highest IVI for tree growth species (Ficus virens) were nest trees. The results also showed that T. supriatnai mostly used bamboo nest trees (26.32%) in plantation areas and Schizostachyum lima and Calamus zollingeri (28.57%) in secondary forests. The survey results also found that 42.9% of the nest trees found in 2018 were still used by T. supriatnai in the last five years.