Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai
tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu,
ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap
kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa
terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan
memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.
This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinionsto be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information thatdisturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts onthe distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on ifthe intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.