Kelebihan kapasitas (overcrowding) pada Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia telah menjadi permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan sejak lama. Hal ini dipicu oleh tingginya angka kriminalitas, terutama pada tindak-tindak pidana ringan. Untuk mengatasi hal tersebut, terdapat suatu metode yang mulai diterapkan pada proses penanganan tindak pidana di Indonesia, yakni keadilan restoratif (restorative justice). Berbeda dengan hakikat pidana yang berfokus pada penghukuman, keadilan restoratif menekankan pada pengembalian keadaan setelah terjadinya tindak pidana. Dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku tindak pidana tidak melulu diberikan hukuman, melainkan diharuskan untuk melakukan atau memberikan sesuatu kepada korban guna memperbaiki kondisinya. Pelaksanaan keadilan restoratif dalam proses peradilan pidana di Indonesia masih sangat baru. Dengan demikian, dilakukan penelitian terhadap perbandingan pengaturan mengenai keadilan restoratif yang ada di Indonesia dan Australia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan keadilan restoratif dan pelaksanaannya di Australia yang dapat menjadi contoh bagi Indonesia. Hasil dari penelitian yang dilakukan dengan metode studi pustaka dan wawancara ini menunjukkan bahwa di Australia, pengaturan mengenai keadilan restoratif sudah setingkat undang-undang di negara bagian dan memiliki suatu asosiasi yang secara khusus mengurus mengenai pelaksanaannya di seluruh Australia. Sedangkan, pengaturan mengenai keadilan restoratif yang ada di Indonesia masih ada di tingkat organisasi, yaitu kejaksaan dan kepolisian, yang membuat beberapa regulasi yang ada dalam kedua peraturan menjadi tumpang tindih. Melihat hal tersebut, Indonesia pun perlu membuat peraturan setingkat undang-undang agar memberikan kepastian hukum mengenai pelaksanaan keadilan restoratif. Di mana di dalam peraturan tersebut akan diatur mengenai persyaratan pemberian keadilan restoratif, mekanisme pelaksanaan dalam setiap tingkat proses peradilan pidana, serta kewenangan badan atau aparat penegak hukum yang melaksanakannya. Hal ini dapat menjadi catatan bagi kepentingan penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru di masa mendatang. Selain itu, mengingat wilayah Indonesia yang luas, perlu dipertimbangkan untuk membentuk suatu badan khusus yang mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan keadilan restoratif oleh para aparat penegak hukum.
Overcrowding in Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) in Indonesia has been a problem that has not been resolved for a long time. This is due to the high crime rate, especially in less serious offenses. To overcome this, there is a method that has begun to be applied to the criminal justice process in Indonesia, namely restorative justice. In contrast to the nature of crime which focuses on punishment, restorative justice emphasizes recovering to the situation after a crime has occurred. In taking responsibility for his actions, the criminal offenders are not given punishment, but are required to do or give something to the victim in order to recover their condition. The implementation of restorative justice in the criminal justice process in Indonesia is still very new. Thus, this research was conducted on a comparison of regulations regarding restorative justice in Indonesia and Australia. This research aims to find out how the regulation of restorative justice and its implementation in Australia that can be an exemplification for Indonesia. The results of the research that was conducted using the literature study and interview method show that in Australia, regulations regarding restorative justice are an act in the state and have an association that specifically manages its implementation throughout Australia. Meanwhile, regulations regarding restorative justice in Indonesia still only at the organizational level, such as the attorney's office and the police, which makes some of the provisions in the two regulations overlap. Therefore, Indonesia also needs to make regulations at the level of act to provide legal certainty regarding the implementation of restorative justice. Where in the regulation will be included the requirements for restorative justice, the implementation mechanism at each level of the criminal justice process, as well as the authority of law enforcement agencies or officials who carry it out. This can be a note to draft a new Criminal Procedure Code in the future. In addition, given the vast territory of Indonesia, consideration should be given to establishing an association to regulate and supervise the implementation of restorative justice by law enforcement officials.