Karya akhir ini membahas mengenai propaganda kejahatan kebencian (hate crime) berbasis orientasi seksual dan identitas gender yang diimplementasikan melalui acara “Deklarasi Padang Bersih Maksiat”. Penulisan karya akhir ini bertujuan untuk memahami bagaimana kejahatan kebencian dipropagandakan untuk menolak eksistensi LGBTIQ+ melalui tafsir agama patriarkal-konservatif, kebijakan diskriminatif, serta tindakan persekusi. Penulisan ini menggunakan teknik analisis isi kualitatif dan queer criminology theory yang pada dasarnya berusaha mengkritik dan menentang narasi mengenai binerisasi heteronormativitas, homofobia, serta pengabaian kesetaraan tentang gender dan seksualitas. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tafsir agama patriarkal-konservatif diiringi dengan prasangka terhadap seksualitas LGBTIQ+ mendorong digelarnya acara “Deklarasi Padang Bersih Maksiat” pada November 2018. Para propagandis dan masyarakat menstimulasi kejahatan kebencian dalam setiap aksi selama acara berlangsung. Pada akhirnya, tindakan persekusi sebagai bentuk kekerasan terhadap LGBTIQ+ seperti penangkapan sewenang-wenang, pemaksaan terapi konversi, dan perlakuan merendahkan martabat pun menjadi jalan keluar untuk menyembuhkan ‘penyakit’ LGBTIQ+. Hal ini berimplikasi pada kerugian dan penderitaan seksual, psikis, dan fisik terhadap kelompok LGBTIQ+.
This final work discusses the propaganda of hate crimes based on sexual orientation and gender identity which is implemented through the “Deklarasi Padang Bersih Maksiat”. This final work aims to understand how hate crimes are propagated to reject the existence of LGBTIQ+ through patriarchal-conservative religious interpretations, discriminatory policies, and acts of persecution. This writing uses qualitative content analysis technique and queer criminology theory which basically tries to criticize and challenge narratives about the binaryization of heteronormativity, homophobia, and the neglect of equality regarding gender and sexuality. The results of the data analysis show that patriarchal-conservative religious interpretations accompanied by prejudice against LGBTIQ+ sexuality prompted the holding of the “Declaration of Padang Clean Maksiat” in November 2018. The propagandists and the public stimulated hate crimes in every action during the event. In the end, acts of persecution as a form of violence against LGBTIQ+ such as arbitrary arrest, forced conversion therapy, and degrading treatment become a way out to cure the LGBTIQ+ 'disease'. This has implications for sexual, psychological and physical losses and suffering for the LGBTIQ+ group.