Perkembangan teknologi membawa perubahan terhadap mudahnya masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Akan tetapi, negara melakukan tanggapan dengan adanya upaya pembatasan yakni otoritarianisme digital. Otoritarianisme digital dilakukan melalui berbagai cara seperti pembatasan akses, pembatasan konten, kekerasan digital, dan pembentukan wacana digital. Oleh Althusser, pelaku dari otoritarianisme digital kemudian turut mengikutsertakan aktor non-negara dalam praktiknya. Penulisan ini mencoba untuk menjabarkan bagaimana otoritarianisme digital dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 2018 sampai 2023. Penulisan ini menggunakan teknik analisis isi kualitatif serta menggunakan teori dari realitas sosial Quinney, serta konsep dari kejahatan negara. Hasil analisis data menunjukkan adanya penggunaan langkah-langkah yang digunakan oleh negara dalam melakukan pembungkaman terhadap masyarakat yang mencoba mengganggu legitimasi pemerintah melalui otoritarianisme digital.
The development of technology has brought about changes in how easily people can express their opinions. However, the state responds to this development by implementing restrictive measures known as digital authoritarianism. Digital authoritarianism is implemented through various means such as access restrictions, content censorship, digital violence, and the shaping of digital discourse. According to Althusser, actors involved in digital authoritarianism also involve non-state actors in their practices. This paper aims to elucidate how the Indonesian government has implemented digital authoritarianism from 2018 to 2023. The study employs qualitative content analysis and draws on Quinney's theory of social reality and the concept of state crime. The findings of the data analysis reveal the adoption of measures by the state to suppress individuals or groups attempting to challenge the government's legitimacy through digital authoritarianism.