Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai merupakan pembaruan kebijakan bea meterai pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985. Kebijakan tersebut menjadikan dokumen konfirmasi sebagai objek bea meterai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan dan perbandingan kebijakan bea meterai negara Inggris, Hong Kong dan Malaysia atas dokumen pada transaksi saham. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kualitatif dengan teknik analisis data kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan dalam mendapatkan data adalah berupa wawancara mendalam dengan informan yang berkaitan langsung dengan penerapan kebijakan tersebut dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan bea meterai atas trade confirmation dilatarbelakangi akan penggunaan dokumen elektronik, perkembangan zaman, perbaikan tata administrasi, kepastian hukum dan peningkatan penerimaan negara. Pada pelaksanaannya, pemerintah dan pihak bursa saham berusaha untuk melaksanakan peraturan bea meterai. Namun terdapat dampak bagi Anggota Bursa seperti peningkatan beban kepatuhan dan persaingan Anggota Bursa. Selain itu penerapan pemeteraian trade confirmation membuat investor berkonotasi negatif, mempertanyakan urgensi pemeteraian, peningkatan celah kerugian, menerapkan penghindaran pajak, dan distorsi kepada minat investor, sehingga penerapan kebijakan belum dikatakan efisien dan optimal. Terkait dengan sandingan kebijakan juga menunjukkan bahwa penerapan bea meterai atas dokumen transaksi saham di Indonesia lebih minim berdampak terhadap perkembangan Bursa Saham. Rekomendasi yang dapat dilakukan pemerintah yakni untuk memperhatikan secara berkala pengenaan kebijakan ini, perbaikan teknis berkala dalam pemeteraian elektronik, dan jalinan kerja sama antara pemerintah dengan berbagai pihak Bursa Saham di Indonesia untuk memberikan pemahaman penerapan pemeteraian trade confirmation kepada para investor, dan pengawasan lebih dalam penerapannya.
Stamp Duty Act Number 10 of 2020 is an update to the stamp duty policy on Stamp Duty Act Number 13 of 1985. This policy makes trade confirmation an object of stamp duty. This study aims to determine the implementation of policies and comparisons of UK, Hong Kong and Malaysia stamp duty policies on documents in stock transactions. The research approach used in this study uses a qualitative research paradigm with qualitative data analysis techniques. The research instrument used to obtain data is in the form of in-depth interviews with informants who are directly related to the implementation of these policies and literature studies. The results of the study show that the stamp duty policy on trade confirmations is motivated of the using electronic documents, era developments, improvements in administrative procedures, legal certainty, and increased state revenues. In practice, the government and the stock exchange are trying to implement stamp duty regulations. However, there are impacts for Exchange Members such as increased compliance and increased competition for Exchange Members. In addition, the application of trade confirmation also makes investors negative connotation, questionings the urgency, increases the gap for losses, applies tax avoidance, and distorts investor interest, so the implementation of policies has not been said to be efficient and optimal. Related to the policy comparison, it shows that the application of stamp duty on stock transaction documents in Indonesia has had a minimal impact on stock market. Recommendations that can be made by the government are to periodically pay attention to the imposition of this policy, periodic technical improvements in electronic sealing, cooperation between the government and various stock market parties in Indonesia to provide investors with an understanding of the implementation of trade confirmation sealing, and more supervision in its implementation.