Studi ini mengkaji ke(tidak)selarasan antara berbagai budaya bencana, Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), dan profil risiko setempat yang diungkap oleh tsunami non-tektonik tahun 2018 yang dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau di Labuan. Dengan mengembangkan model hubungan segitiga, penelitian ini bertujuan untuk menilai sejauh mana sistem peringatan tsunami telah disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Berdasarkan pengumpulan data kualitatif, penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum tsunami 2018 dan tanpa mengingat memori tsunami Krakatau 1883, berbagai kelompok lokal memiliki pemahaman yang sangat seragam tentang tsunami yang hanya dipicu oleh gempa. Setelah tsunami 2018, informan melaporkan peningkatan kesadaran tentang berbagai jenis tsunami dan risiko gempa. Namun, ini tidak serta-merta menjadi kenyataan praktik di lapangan; faktor struktural dan budaya secara signifikan menghambat pemerintah lokal dan lembaga manajemen bencana. Penelitian ini mengidentifikasi langkah-langkah untuk meningkatkan keselarasan, misalnya, melibatkan anggota masyarakat dalam pemeliharaan teknologi peringatan, menyesuaikan materi peningkatan kesadaran dengan profil bahaya setempat dan menghubungkan peningkatan kesadaran dengan tradisi lokal. Namun, reformasi lebih dalam dari InaTEWS diperlukan, termasuk mengatasi ego sektoral dan menggabungkan pengetahuan dan pengalaman lokal ke dalam pembuatan kebijakan. Dengan menangani ketidakselarasan ini, penulis berpendapat bahwa pihak berwenang dapat lebih baik mendukung masyarakat dalam memahami dan merespons risiko tsunami, dan pada akhirnya meningkatkan kesiapsiagaan.
This study examines the (mis)alignments between multiple disaster cultures, the Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), and local risk profiles revealed by the 2018 non-tectonic tsunami triggered by the Anak Krakatau volcanic eruption in Labuan. Developing a triangle model, the research aims to assess to what extent the tsunami warning system is adapted to local needs and characteristics. Based on qualitative data collection, it shows that before the 2018 tsunami and notwithstanding memories of the 1883 Krakatau tsunami, different local groups shared a strikingly homogeneous understanding of tsunamis as exclusively triggered by earthquakes. After the 2018 tsunami, participants reported increased awareness of different tsunami types and earthquake risks. However, this rarely translated into practical changes on the ground; structural and cultural factors significantly hampered local government and disaster management agencies. The research identifies steps to improve alignment, e.g., involve community members in warning technology maintenance, tailor awareness-raising materials to the local hazard profile and connect awareness-raising with local traditions. However, deeper reform of the InaTEWS is necessary, including overcoming sectoral silos and incorporating local knowledge and experiences into policy-making. By addressing these (mis)alignments, we argue authorities can better support communities in understanding and responding to tsunami risks, ultimately enhancing preparedness.