Tesis ini membahas tingkat kelayakan huni perumahan di Kabupaten Bekasi serta pendapat yang berkembang di masyarakat, pemerintah, dan pengembang perumahan mengenai kelayakan huni perumahan di Kabupaten Bekasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian campuran (
mixed method). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan kecamatan lokasi penelitian masuk dalam kategori layak huni dalam hal kelayakan huni perumahan di Kabupaten Bekasi. Skor kelayakan huni paling tinggi berada di Kecamatan Cikarang Barat dan paling rendah berada di Kecamatan Cibitung. Diketahui pula beragam persepsi mengenai perumahan layak huni termasuk rumah layak huni dari sisi pemerintah, sisi pengembang perumahan, dan sisi masyarakat sebagai penghuni perumahan. Pemerintah mengartikan perumahan layak huni sebagai rumah layak huni yang memiliki pengertian sebagai rumah yang sudah memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan non teknis untuk dihuni dan ditinggali, serta dapat diterima masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rumah layak huni juga diartikan sebagai rumah yang sudah tidak beralas tanah dan sudah memiliki fasilitas untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK). Dari pihak pengembang perumahan, persepsi mengenai perumahan layak huni mengacu pada properti hunian yang dirancang dan dibangun untuk memberikan kondisi kehidupan yang nyaman, aman, dan sesuai bagi penghuninya. Tentunya, dalam perumahan yang layak huni terdapat rumah-rumah yang memenuhi syarat untuk dihuni. Rumah yang layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan dasar terkait ukuran dan ruang, serta memenuhi standar kesehatan dan kenyamanan. Hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban di dalam ruangan. Selain itu, rumah juga harus memenuhi kebutuhan minimal dalam hal keamanan dan keselamatan, termasuk bagian-bagian struktur utama seperti fondasi, dinding, atap, dan lantai. Sedangkan persepsi masyarakat mengenai perumahan layak huni dapat berbeda – beda dan beragam, dipengaruhi beberapa faktor meliputi latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan pengalaman pribadi.
This thesis discusses the livability of housing in Bekasi Regency and the growing opinion among the community, government and housing developers regarding the livability of housing in Bekasi Regency. This study uses mixed research methods. The study results show that all sub-districts in the study locations fall into the livable category regarding habitable housing in Bekasi Regency. The highest habitability score is in West Cikarang District, and the lowest is in Cibitung District. The results of this study also note various perceptions regarding livable housing, including livable housing from the government side, the housing developer side, and the community side as housing residents. The government defines livable housing as a house that meets the technical and non-technical requirements and is acceptable to the community, especially low-income people (MBR). A livable house also defines as a house that is not grounded and already has facilities for bathing, washing and toilet purposes (MCK). From the housing developer side, livable housing refers to residential properties designed and built to provide comfortable, safe and suitable living conditions for the residents. Of course, in livable housing, some houses meet the requirements to live in. A livable house is a house that meets basic requirements regarding size and space and health and comfort standards. These are three main factors: lighting, ventilation, and air temperature and humidity in the room. In addition, the house must also meet minimum requirements in terms of security and safety, including the main structural parts such as foundations, walls, roofs and floors. Meanwhile, people's perceptions of livable housing vary, influenced by social, cultural, and economic background and personal experience.